Untitled - 10

4.3K 637 122
                                    




📖









“Ah, kau sudah pulang.”


Jeno seketika tertarik dari lamunannya setelah mendengar suara yang hangat yang paling ia sukai itu.


Ia berlari seraya  memeluk sang pemilik suara yang masih berdiri di depan pintu kamar tidur dengan selimut yang membungkus tubuhnya.


“Kau habis menangis?”


Jeno membungkam rapat mulutnya,  memilih untuk hanyut dalam pelukan hangat dan aroma menenangkan dari tubuh yang sedang dipeluknya itu.


“Jen—”


“Eomma...”


Nyonya Lee mengusap kepala putranya dengan lembut sambil sesekali mengecup puncak kepalanya. “Maaf, Eomma tidak bisa menemanimu tadi.”


Jeno menggeleng dalam pelukan Ibunya. “Tidak apa, ada Renjun yang menemaniku.”


“Apa anak Eomma ini sudah lapar?” Nyonya Lee mengurai dekapan secara perlahan seraya menatap wajah tampan putra bungsunya itu dengan sendu.


Jeno kembali menggeleng, kemudian mengecup sisi telapak tangan Ibunya, yang menempel di kedua pipinya dengan hangat.


“Apa Eomma lapar? Aku akan memesan makanan untuk Eomma. Tunggulah sebentar,” ujar Jeno seraya berjalan mengambil ponselnya yang tadi ia lemparkan ke atas coffee table.


“Eomma sudah makan. Appamu bisa mati kebingungan jika Eomma telat mengirimkannya foto laporan jika Eomma sudah makan.” Nyonya Lee tersenyum simpul pada Jeno, yang menatapnya seolah tak percaya.


“Aish! Anak dan ayah sama saja keras kepala. Sudah sana, nyalakan perapian. Eomma akan membuatkan teh hangat dan setelahnya sedikit berbincang di depan perapian sambil menonton hujan, sepertinya ide bagus.” Nyonya Lee mengerling pada Jeno yang kemudian tersenyum datar seraya duduk bersimpuh; menyalakan perapian.









📖









“Apa Haechan masih menangis?” tanya Nyonya Lee sesaat setelah Jeno mengakhiri panggilan teleponnya dengan Lucas.


Jeno mengedikkan bahunya. “Kurasa begitu. Haechan sangat cengeng. Pasti Lucas Gē akan sangat kerepotan.”


Nyonya Lee mengulum senyumnya seraya mengelus punggung putranya itu yang semakin tegap dan kokoh; melampaui Ayahnya.


Ah, sudah besar rupanya anak manjanya yang satu ini, gumam Nyonya Lee dalam hati.


“Eomma...” bisik Jeno lirih pada Ibunya yang sedang menyesap cokelat hangat di dalam mug bermotif kelinci.


“Hm?”


“Apa besok mataku akan terlihat bengkak?”


Nyonya Lee terkekeh pelan. “Pasti.”


Jeno merengut sebal. “Eomma...”


“Apa lagi Jeno-ya?”


“Apa aku bisa melewatinya kali ini?”


Satu pertanyaan singkat namun sangat rumit keluar dari mulut anak lelakinya, membuat Nyonya Lee menghembuskan nafas panjang.


Ia mengulurkan tangan, merangkul Jeno dari samping. Keduanya menatap derasnya hujan yang masih turun dengan tidak sopannya sedari pagi dari balik jendela anjungan.


The Lost MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang