Dilarang menjiplak, menyalin dan mempublikasikan karya-karya saya tanpa izin penulis.
.
.
.
Cerita lengkap hanya dapat kalian baca di versi ebook dan cetak. Untuk yang sudah membeli versi cetak, buku masih proses cetak, maaf lama banget, kepotong libur dan antri. Untuk yang ingin uang kembali bisa PM saya ya. Saya akan transfer balik uangnya. (:
Ebook akan tersedia di google play/book awal bulan Agustus 2019.
.
.
Happy reading!
.
.
.
Han Tingyu duduk di atas kursi, tatapannya terarah lurus pada tawanan perang yang berhasil pasukannya tangkap kemarin sore. Di sampingnya, pangeran pertama tersenyum puas melihat penderitaan tawanan perang yang tengah disiksa agar mau bicara.
"Apa kau tidak bias melakukan sesuatu agar mereka mau bicara?" Pangeran pertama mengatakannya dengan nada mengejek. Ia menaikkan satu alis tinggi, menatap adik satu ayahnya dengan ekspresi jengkel. Ekspresi puas pangeran pertama berubah cepat karena tawanan mereka memilih menanggung penderitaan daripada bicara.
Han Tingyu melirik sinis. "Mereka akan mati tanpa mengatakan apa pun jika aku menyiksa mereka lebih dari ini—"
"Lalu apa bedanya?" Pangeran pertama menginterupsi ucapan Han Tingyu. "Bunuh mereka jika tidak mau bicara, lalu tangkap pemberontak yang lain. Kenapa kau tidak bisa melakukan perintah mudah seperti itu?"
Ingin rasanya Tingyu tertawa keras mendengar penuturan kakak pertamanya. Jika memang semudah itu, kenapa ayah mereka memberikan perintah itu kepadanya bukan kepada saudara-saudaranya yang lain?
Tangan pangeran ketiga terkepal erat. Giginya gemeretak, tangannya gatal ingin memenggal kakak pertamanya saat ini juga.
Dalam satu gerakan ia berdiri, berjalan menuruni satu per satu anak tangga batu menuju salah satu tawanan. Tanpa ekspresi Tingyu mendongakkan wajah tawanan pria itu dengan ujung sepatu. "Kakakku mengatakan ini pekerjaan mudah," ucapnya, datar. "Apa kau berpikir seperti itu juga?"
Tawanan pria itu tidak menjawab. Satu matanya sudah sangat sulit untuk dibuka. Memar di wajah terlihat sangat mengerikan. Darah segar mengotori pakaian yang dikenakannya. Tidak lama kekehan terdengar menyaru dengan tarikan napasnya yang berat. Pria itu menarik wajah dengan susah payah lalu meludahkan darah di dalam mulut ke arah Tingyu.
"Jadi dia calon raja masa depan kalian?" pria itu tertawa mengejek. Tatapannya terarah lurus ke arah pangeran pertama. "Kalian akan menjadikan manusia tanpa otak menjadi seorang raja?" tambahnya.
Jauh di dalam hati, Tingyu tertawa keras. Ucapan tawanan ini memang terdengar menjengkelkan, tapi tidak salah. "Hati-hati dengan ucapanmu!" Hanya itu yang ia ucapkan, sementara pangeran pertama berjalan dengan napas memburu, marah, satu tangannya yang menggenggam gagang pedang teracung tinggi.
"Pengkhianat sialan!" Pangeran pertama meraung, murka. Tanpa aba-aba ditebasnya leher tawanan perang itu hingga terpisah dari badannya. "Berani sekali mengejekku dengan mulut kotormu!"
Penjara bawah tanah itu kembali hening untuk beberapa saat. Beberapa tawanan lain yang melihat peristiwa itu terdiam sebelum akhirnya tertawa, kompak. Tanpa rasa takut mereka menatap pangeran pertama dengan ekspresi mengejek.
"Bahkan keledai lebih pintar daripada kau!" ucap seorang tahanan lain. Kekehannya membuat pangeran pertama sangat jengkel. Kepala kedua kembali terpenggal dalam kedipan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAMAT - The Crown Prince
FantasyVersi Wattpad tidak lengkap. VERSI LENGKAP BISA DIBELI DI GOOGLE BOOK/PLAY Usaha untuk merebut kembali Kerajaan Angin terus bergemuruh. Dendam, pengkhianatan dan pertumpahan darah menjadi bagian dari kehidupan para Pangeran Kerajaan Angin yang tenga...