Ia merasakan hening beserta atmosfer dingin menyambut kepulangannya usai menyelesaikan kegiatan belajar kelompok di rumah teman sejak pulang dari sekolah siang tadi.
Sejemang kakinya berhenti kala menjumpai kepingan beling yang berserakan di depan kamar tidur milik orang tuanya. Kamar itu kosong, tanpa ada presensi seorangpun, mungkin belum kembali dari aktivitas mencari pundi, pikir Seokjin.
Memang wajar saja, hari masih menunjukkan waktu sore menjelang malam. Tak jarang ayah dan ibu akan pulang ketika sudah larut bahkan hampir menjumpai pagi. Jadi Seokjin menepis pikiran buruk yang menari di dalam benaknya.
Langkah panjang itu kembali terhenti saat mendengar suara isak tangis mendengung dari kamar sang adik, menciptakan tanda tanya besar perihal kejadian apa yang sedang berlangsung hari ini? Menepis sikap apatisnya, Seokjin memberanikan diri untuk masuk.
Nampaklah adik laki-lakinya sedang menangis dengan tubuh memeluk lutut yang meringkuk dan terkapit di samping kasur. Entah apa yang terjadi beberapa waktu yang lalu, Seokjin tidak tahu. Orang tuanya belum kembali dari kegiatannya di luar. Jadi, tidak akan ada kejadian menyakitkan untuk sore ini.
"Jungkook, mengapa menangis?" Tanya Seokjin lembut sembari mengusap punggung sang adik.
Jungkook terkesiap, mendongak spontan menatap Seokjin, secara tak sengaja menunjukkan wajahnya yang memerah akibat tangis. Jungkook dirundung bingung perihal harus berkata seperti apa kepada Seokjin. Rasanya ia takut jika sang kakak akan merasakan sakit yang sama seperti dirinya atau bahkan lebih.
"Ayo katakan ada apa, Jungkook?"
Seketika Jungkook memeluk erat tubuh Seokjin yang bersimpuh di depannya. Rasa takutnya akan perkara beberapa waktu yang lalu membuatnya lemah. Dengan secuil keberanian Jungkook memilih jujur, "Ibu dan Ayah bertengkar lagi. Mereka berdebat untuk membawaku jika mereka sudah berpisah. Aku tidak mau jauh darimu, hyung."
Baiklah, Seokjin berpaling, ia akui ini sangat sakit bahka sekedar mendengarnya dari mulut orang lain. Berdebat memperebutkan Jungkook, berarti ia benar-benar tidak dipikirkan atau memang tidak ada yang mau untuk mengurus dan memberikan afeksi untuk dirinya lagi.
Tak apa, Seokjin seharusnya memang sadar diri saja. Jungkook memang lebih baik dibandingkan dirinya. Memangnya siapa yang mau mengurus anak nakal seperti Seokjin? Bodoh dan pembuat masalah.
Pada akhirnya ia hanya membalas kalimat Jungkook dengan pelukan erat bersama kalimat singkat yang semakin menunjukkan jika ia tak sebaik yang Jungkook pikir. "Tenanglah, berhenti menangis. Aku akan selalu bersamamu."
____
Sejak Ayah kehilangan pekerjaan tetapnya, Ibu berubah. Bukan hanya Ibu bahkan kehidupannya.
Tidak ada lagi makan malam, pelukan serta kecupan sebelum tidur bahkan hukuman yang wajar serta nasehat yang hangat saat kakaknya mendapat nilai buruk di sekolah.
Jungkook pikir Seokjin juga berubah kendati tak menunjukkan sikap itu secara terang-terangan. Seokjin jadi lebih tertutup, pulang usai sekolah lebih lama bahkan menjadi sedikit kasar dan tak acuh.
Kakaknya benar-benar berhenti menjadi anak yang membanggakan. Kakaknya telah berganti menjadi anak pembangkang setelah kata kasar keluar betubi-tubi dari mulut ayah dan ibu.
Dimulai dari perdebatan panjang yang deras dan kasar, tamparan atau segalanya yang main fisik, barang-barang yang hancur, bahkan yang lebih parah pukulan tanpa ampun untuk Seokjin sebab sang kakak membuat masalah atau tidak mendapat nilai bagus seperti yang diharapkan ayah dan ibu
Ibu yang tidak tahan dengan peliknya masalah keuangan di rumah sementara ayah yang juga risih dengan kalimat nyiyir sang ibu membuat mereka ribut sepanjang hari, lalu keluarganya kacau tak terurus bersama rasa egois satu sama lain. Baik Seokjin maupun Jungkook, mereka sama-sama berusaha mandiri dalam keadaan sekarang ini.
Dan yang lebih Jungkook takutkan adalah bagaimana cara Seokjin meninggalkan dirinya di tengah perdebatan yang tidak pernah usai antara Ibu dengan Ayah.
Jungkook dapat mendengar suara langkah kaki yang mengalun anggun di kedua telinganya. Semakin mendekat lalu tangan indah seseorang merangkul bahunya dengan hangat.
"Jungkook, apa hyungmu sudah pulang?" Suara Ibu membuyarkan lamunan Jungkook.
Ah, ibu. Ingat pulang rupanya.
"Sudah, Bu. Seokjin hyung ada di dalam kamarnya."
Hyejin tersenyum, ia mengangkat satu tangan untuk mengusap surai sang anak sedang satunya lagi mengusap bahu Jungkook lembut.
"Jungkook, Ibu menyayangimu. Bagaimana denganmu?" Pernyataan semacam itu keluar tiba-tiba dan membuat Jungkook muak.
Jungkook berdecih dalam hati, ada umpatan yang tertahan di bawah lidah. Hanya sekedar kalimat hambar pemulai konversasi, basi. Pikirnya ini adalah pertanyaan yang menakutkan sekaligus menjijikkan untuknya.
"Aku juga menyayangi Ibu." Jawabnya.
Hyejin tersenyum hingga kedua lubang di pipinya menyusut lebih ke dalam. Senang sekali mendengarnya. "Kalau begitu ikutlah dengan Ibu. Ibu tidak bisa hidup tanpamu. Ibu mohon, ya?"
Dugaan Jungkook benar, lagi-lagi Ibunya egois. Selalu saja begitu. Ingin sekali Jungkook menepis tangan lembut Ibu yang bertengger di bahunya lalu meninggalkan Ibu bersamaan dengan permohonan menjijikkan itu. Tapi Jungkook tidak sejahat itu—enggan untuk menyakiti perasaan ibu.
Rasanya sesak sekali, agak sulit mengambil napas agar dapat bersuara. Jungkook takut menyakiti perasaan ibu. Tetapi ia sungguh membenci percakapan menyakitkan ini. Dengan satu tarikan napas yang pelik ia mencoba membuka suara, "Jika aku ikut dengan Ibu bagaimana dengan Ayah? Bagaimana dengan Seokjin hyung? Aku juga menyayangi mereka, Ibu. Bagaimana bisa aku hidup tanpa mereka?" Jungkook menatap dalam-dalam mata ibunya.
Jungkook sangat menginginkan rumahnya kembali. Ia ingin Ayah dan kakaknya kembali hangat satu sama lain, ia ingin keluarganya bahagia. Ia rindu rumahnya yang dahulu, kala ibu dan ayah saling mengerti satu sama lain.
"Tapi Ibu tidak bisa bertahan lagi. Ayahmu akan bersama Seokjin. Tak perlu khawatirkan itu, Jungkook." Hyejin mengusap air matanya yang entah kapan menetes. Ia takut sekali jika Jungkook memilih ikut dengan ayahnya atau lebih tepatnya ia takut kalah atas perdebatan dirinya dengan sang suami. Jungkook geram dan marah. Namun semua itu ia tahan.
"Ayah juga menginginkan aku ikut dengannya, bukan? Apa kalian tidak memikirkan Kakakku? Mengapa Ibu sangat egois?"
Jungkook mencoba menahan amarah, memejamkan mata seraya menghembuskan nafas jengah. "Lebih baik aku tidak ikut kepada dua-duanya. Aku akan bersama Seokjin hyung saja. Jika ibu rasa dengan berpisah akan bahagia, terserah. Jangan bawa aku!" Pada akhirnya Jungkook menepis tangan lembut wanita itu kemudian berlalu meninggalkan Hyejin.
Segala konversasi yang terlontar beberapa sekon yang lalu, tanpa satupun dari mereka sadari bahwa Seokjin mendengar dari dalam kamarnya, mendengar seluruh kalimat panas melalui nada tegang dalam perdebatan Jungkook dengan sang ibu. Lagi-lagi keluarganya membuatnya luka baru di relung Seokjin. Dengan tangisan frustasi Seokjin memeluk lututnya, kuat-kuat ia menahan isak tangis yang mendesis dari kedua belah labiumnya. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Liebe Mich | ᴋsᴊ | ✔
Fanfiction(Germany). Cintai aku. [Completed] Masing-masing dari mereka bersimpuh, mendongakkan kepala menatap lukisan awan di angkasa, kemudian bertanya-tanya kepada sang pencipta bentala, predestinasi apa yang sedang mereka genggam? ©ieuaraz, 2019