Seokjin ingin berakhir, ia ingin mati. Tetapi tidak bisa. Mengapa?
Mengapa Tuhan tidak mengakhiri penderitaannya lebih cepat?
Pertanyaan itu selalu tergiang disepanjang hari yang Seokjin jalani.
Pagi ini ia duduk termenung didepan televisi yang tidak menyala. Mendengar samar-samar gerak orang tuanya yang sebentar lagi menuju sidang perceraian.
Sebentar lagi, tinggal beberapa jam lagi. Pagi ini, pagi ini keputusan mereka berpisah.
Maka Seokjin benar-benar frustasi untuk kesekian kalinya.
Dengan demam yang entah kapan berhenti ia duduk dengan pandangan kosong menunggu orangtuanya untuk pergi kepersidangan.
Katanya hari ini Ibu dan Jungkook pergi. Seokjin sendiri jadinya.
Ia sedih, tapi harus bagaimana lagi?
"Hyung, aku merasa sangat hancur hari ini. Kita akan berpisah. Tapi aku janji. Aku akan berkunjung kerumah sesering mungkin. Aku berjanji, hyung."
Omong kosong! Bahkan kau tak perlu datang. Sama sekali aku tak peduli.
Sekali lagi itu hanya jawaban dihati. Seokjin terlalu takut untuk berkata-kata lagi.
Bahkan ia tak sedikitpun memandang kearah Jungkook. Ia muak. Semua janji yang pernah ia katakan adalah palsu.
Janji yang akan mengubah orang tuanya, mengganti posisinya atau apalah itu, semuanya bohong.
Setelah beberapa waktu hening. Mereka semua pada akhirnya berangkat menuju persidangan.
*
Seokjin tak kuasa menahan tangis usai semuanya selesai. Ia hanya bisa meringkuk diatas kasur seraya berderai air mata dan umpatan tiada henti.Setelah memeluk ibu dengan sangat erat dan kecupan-kecupan kecil beberapa menit silam, serta pelukan hangat penuh rindu dari Jungkook untuk dirinya. Segalanya meluluh lantakkan perasaan Seokjin hingga berakhir meringkuk dipelukan nestapa.
Sesuatu yang sangat tak ingin Seokjin alami bahkan hanya melihat saja; kepergian ibu, dan kehancuran keluarga yang benar-benar renggang setelah putus dari kegentingan.
Ia harus apa setelah ini selain sungguh-sungguh menerima dengan lapang dada kendati pada kenyataannya, sampai kapanpun Seokjin tak pernah merelakan. Semua tak adil pikirnya.
Demi apapun Kim Seokjin sepenuhnya membenci Kim Jungkook dengan cara yang lebih menyakitkan.
Tak terasa ia menangis hingga langit biru cerah berganti menjadi biru yang beradu dengan hitam, malam.
Apapun itu, rayuan apapun yang ayah katakan didepan pintu tak akan Seokjin pedulikan. Untuk malam ini saja ia ingin meluapkan amarah dan rasa jengkel lewat tangisan tanpa siapapun yang dapat menghentikan.
Kendati demam yang semakin menusuk-nusuk tubuhnya sebab bercampur dengan denyutan hati dan air mata. Seokjin tetap bersikeras untuk tak peduli.
Ayah juga kehilangan cinta. Dan ayah hanya akan hidup dengan pembawa sial, sungguh Seokjin merasa tak berguna untuk terus hidup. Namun, perkataan ia harus mencintai diri sendiri dengan mempertahankan hidup dengan menunggu takdir tuhan terus menyelimuti pikiran dan jiwanya. Seokjin tetap waras untuk tak menyayat nadi, melompat dari ketinggian, gantung diri apalagi meminum racun untuk mempercepat ketetapan mati yang tuhan tulis.
Tanpa Seokjin pikirkan bahwa dendam dan membenci seseorang juga bagian dari tidak mencintai diri sendiri. Karena pada akhirnya semua itu hanya akan membawanya kedalam lubang yang lebih menyakitkan lagi, kedalam lubang yang lebih banyak menabur beling dan lebih gelap dari gulita yang ia rasakan saat ini.
Yang Seokjin tahu, ia tak akan pernah putus asa akan ambisinya, tak pernah putus asa akan dendam yang ia lakukan. Seokjin memang bodoh.
*
Hari pertama tanpa Ibu dan Jungkook. Seokjin kembali merasakan sesak yang teramat menyakitkan. Rasa pening semakin menjadi-jadi menghanti seluruh bagian kepalanya.Pagi ini ia terbangun dan melangkah kedapur untuk melihat makanan apa yang tersaji, tapi untuk saat ini atau mungkin seterusnya itu semua akan hanya menjadi omong kosong, tidak ada yang akan memasak untuk dirinya lagi.
"Kau lapar? Ayah membelikanmu ini. Makanlah setelah itu minum obatmu!" Kendati berujar dingin, Seokjin tak dapat menahan lengkungan kecil dibibir, kecil sekali hingga nyaris tak terlihat sebab ayah mengatakan 'ayah' kepada dirinya. Setelah sekian lama tak mendengar kata itu.
Dan sejak kapan ayah peduli kepadanya? Maka Seokjin tak akan meminum obat itu, sebab terus sakit akan menarik perhatian ayah. Jadi, tak payah sembuh. Jika saja Seokjin tidak lapar ia juga enggan untuk menyentuh makanan yang ayah beli.
*
Jungkook jadi merasa tak enak hari ini. Ibu sibuk sekali dengan merapikan rumah barunya sementara ia hanya diperintahkan duduk seraya memakan sarapan buatan ibu.
Ia juga memikirkan nasib Seokjin pagi ini. Apa sudah makan atau belum dan masih demam atau tidak? Ia merindukan kakaknya yang pendiam itu. Mungkin menghubunginya pagi-pagi tak apa. Membangunkan seseorang dipagi hari yang cerah bukanlah buruk.
Maka dengan cepat Jungkook mengotak-atik ponselnya untuk mencari nomor Seokjin. Kemudian panggilan itu tak diterima kakaknya lalu Jungkook mendesah pasrah. Ia kecewa. Apa Seokjin marah padanya?
Aku menunggumu dikedai bibi Min. Jam empat sore kau sudah harus disana!
Pada akhirnya Jungkook hanya mengirim pesan singkat kepada Seokjin. Lalu melanjutkan sarapannya.
"Jungkook, temani ibu ke rumah tetangga sore nanti!"
"Pukul berapa ibu?"
"Pukul empat sore." Jungkook menghela napas jengah. Jam empat nanti ia harus bertemu Seokjin. Bertemu Seokjin lebih penting dari pada berkunjung kerumah tetangga. Lambat laun ia akan saling mengenal. Jungkook bukan Seokjin yang sukar untuk menyatu dengan orang-orang sekitar.
"Maaf ibu, aku harus bertemu dengan Seokjin hyung sore ini."
.....
Maaf pendek T-T
KAMU SEDANG MEMBACA
Liebe Mich | ᴋsᴊ | ✔
Fanfiction(Germany). Cintai aku. [Completed] Masing-masing dari mereka bersimpuh, mendongakkan kepala menatap lukisan awan di angkasa, kemudian bertanya-tanya kepada sang pencipta bentala, predestinasi apa yang sedang mereka genggam? ©ieuaraz, 2019