[15] Hateful

3.6K 381 83
                                    

Angkasa siang hari ini sangat luar biasa. Biru cerahnya memberikan sedikit hiburan pada diri Seokjin yang berbanding terbalik dengan cerahnya langit. Biasanya jika siang hari sangat terang, sore atau malam akan turun hujan.

Bibir tebalnya melengkung, kembali merindukan afeksi dari ibu. Bukan ibu saja, tapi sebuah kehangatan keluarga. Ayah kembali hadir usai ibu berubah kasar. Jadinya Seokjin tak bisa tersenyum mendapat kabar bahwa ayah telah kembali.

Satu kembali, dan yang lain pergi.

Seokjin mengusap air matanya. Ia lelah menangis, terlampau keseringan bersedih. Namun, bala memang tiada pernah usai berkujung ke hari Seokjin. Ia teringat, masih ada Jungkook yang menuang afeksi pada dirinya.

Air matanya kembali menetes, kali ini dengan deras. Menyesali diri yang pernah membenci kehadiran Jungkook. Baru tersadar bahwa rasa sayangnya teramat besar terhadap sang adik. Apalagi saat mendengar ibu yang mengatakan adik kecilnya mengalami kecelakaan.

Seokjin berdiri di depan lemari yang sangat ia lindungi dari jangkauan Jungkook sedari dulu. Tangannya meraih sebuah buku tebal, membuka satu persatu halaman. Matanya kembali memanas menyaksikan deretan aksaranya yang bercerita tentang dendam.

Saat itu, Seokjin sangat terluka. Menyalahkan Jungkook karena angkara ayah. Menuduh Jungkook yang mengacaukan hidupnya. Ia kehilangan semuanya karena Jungkook. Seokjin sangat membenci Jungkook, waktu itu.

Hari ini ia tersadar. Jungkook dan orang lain bukanlah penyebab Seokjin terjatuh ke dasar jurang. Tapi dirinya sendiri. Dirinya bersimpuh memeluk tubuh, melempar asal bukunya hingga beberapa kertas tercecer di lantai. Seharusnya sejak dulu Seokjin berfikir dewasa.

Ia menyakiti Jungkook sedari dulu, dan jika Jungkook mengetahui fakta yang telah berubah, maka Seokjin tak akan sanggup melihat betapa kecewanya raut sang adik.

Rasa bersalahnya semakin memuncak kala menyadari dirinya yang pernah mencoba menghindar dari Jungkook. Pasti sangat menyakitkan. Sebagaimana yang ia rasakan saat ini, ditinggalkan oleh banyak orang yang tersayang.

Seokjin memukul kepala berulang kali untuk merutuki kebodohan, seharusnya, banyak bencana membuatnya mengerti bahwa hampir seluruh kesakitan disebabkan oleh tangannya sendiri.

Seokjin terisak, merasa sangat sakit pada dadanya. Membiarkan begitu saja air matanya berjatuhan, semenjak ibu berlaku buruk padanya, Seokjin kehilangan percaya diri untuk tersenyum.

Sudah banyak absen yang ia ciptakan dikelas. Sebab merasa kakinya tak sanggup untuk berjalan, tak sanggup melihat manusia lain tertawa, tak sanggup menatap wajah temannya disekolah. Seokjin belum siap menerima cemooh.

Banyak detik telah terlewatkan untuk mengeluarkan cairan asin di netranya. Seokjin mengusap wajahnya yang basah kala mendengar bunyi derit pintu yang dibuka perlahan. Ayahnya masuk membawa mangkuk yang berhiaskan asap yang mengepul.

"Kau kenapa, nak?" Sangat terdengar seperti seorang ayah, bukan? Rasanya Seokjin ingin tertawa melihat sikap ayah yang sekarang.

Sang anak hanya mampu menampilkan senyum seraya menggeleng. Ayah membantu Seokjin bangkit untuk duduk dengan benar di atas kasur. Meletakkan mangkuk berisikan bubur ditangan Seokjin agar segera dimakan.

Perlahan Seokjin menyuapkannya, hanya satu suapan. Setelahnya anak itu diam menatap angin dengan sendu. Seokjin membenci segala sesuatu yang hambar sejak saat ini. "Mengapa tidak dilanjut?" Tanya ayah.

Seokjin memberikan mangkuknya kepada ayah. "Buburnya tidak enak? Ayah memasak sendiri, ada seseorang berbaik hati memberi segelas beras dengan percuma," ayah mencicipi masakannya. "Rasanya hambar karena ayah tidak menaruh garam, tak ada uang hanya sekedar untuk membeli garam."

Liebe Mich | ᴋsᴊ | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang