Sudah dua hari sejak kejadian kemarin. Surat perceraian sudah keluar dan telah ditanda tangani oleh kedua orang tuanya.
Hanya sedikit lagi, tinggal menunggu sidang perceraian kemudian semuanya selesai.
Maka Ibu dan Jungkook akan pergi meninggalkan rumah dan Seokjin ditinggalkan sendiri bersama pukulan-pukulan selanjutnya oleh Ayah.
Seokjin belum siap untuk menghadapi hari-hari yang telah ia bayangkan tanpa Ibu dan Jungkook sebagai penyelamatnya.
Ia takut, tapi tak ada yang mengerti.
Baiklah, Seokjin akan mencoba sekali lagi. Ia akan membujuk Ibu dan Jungkook sekali lagi.
"Ada apa datang kekamarku, hyung?" Tanya Jungkook saat Seokjin datang kekamarnya dengan raut wajah kikuk.
Seokjin menelan payah salivanya. Secara mendadak rasa gugup yang luar biasa hingga dibenaknya. "Emh..." ia masih berfikir untuk berkata.
Jungkook mengernyit tak paham. Gelagat Seokjin sangat membingungkan. "Hyung?"
"Ah, Jungkook. Emh..apa kau mau membujuk Ibu agar kita bertukar? Aku ikut Ibu dan kau bersama Ayah." Tanpa basa-basi, Seokjin sangat lelah untuk menunggu keputusan.
"Begini hyung, aku sudah mencoba namun Ibu tetap saja menolak. Aku sebenarnya mau-mau saja bersama Ayah. Namun...."
"Pada intinya aku memang tidak diharapkan, bukan?" Jungkook menggeleng. Ia tak enak saat melihat raut wajah Seokjin yang mulai kacau.
"Bukan begitu.."
"Aku..aku memang bodoh, Jungkook. Selamanya akan begitu, tak akan pernah berubah. Itu'kan yang difikirkan Ibu? Bodoh dan tak bisa diharapkan." Air matanya mulai menetes. Bibirnya bergetar menahan isakan. Tangan Seokjin-pun ikut meremat satu sama lain.
Jungkook terdiam memandang sedih. Keanehan Seokjin semakin menjadi-jadi akhir-akhir ini.
"Tapi Ayah juga tidak mengharapkanku. Lalu aku harus bagaimana? Bisakah aku tenang untuk kehidupan kedepannya?" Seokjin menggenggam tangan Jungkook, menatap dalam seolah meminta jawaban.
"Ya. Aku... aku berjanji akan membujuk Ibu. Tak perlu khawatir, hyung."
Kalimat Jungkook sukses menghentikan tangisan Seokjin. Dihapusnya air mata sembari tersenyum, lalu memeluk Jungkook dengan tulus.
____
Entah sudah berapa menit Jungkook berdiri didepan kamar Ibunya, ia belum juga memiliki keberanian untuk mengutarakan kalimatnya.
"Jungkook?" Tanya Hyejin dengan alis bertaut.
Jungkook terkejut lalu tersenyum kikuk sembari menarik tangan sang Ibu untuk kembali masuk kekamar bersama dirinya.
"Kau kenapa, Jungkook?" Sang anak tak menjawab, ia mendudukkan tubuhnya dan tubuh sang Ibu sembari tersenyum kikuk yang tiada henti.
"Ibu..." Jungkook masih berpikir kembali. "Kau ada masalah?" Tanya Hyejin kembali.
Lantas Jungkook menggeleng cepat. Ia mengatur napasnya perlahan untuk mengatur degup jantungnya yang berdetak dengan ritme cepat. "Bolehkah aku bersama Ayah setelah perceraian kalian selesai?" Pungkas Jungkook dengan satu napas.
Hyejin mengernyit, "Ada apa denganmu, Jungkook? Apapun yang kau katakan, Ibu tetap akan membawamu. Biar Seokjin yang disini!"
Jungkook menghela napas lelah. Ibunya benar-benar susah sekali untuk merubah keputusannya. Jungkook hanya ingin Seokjin bahagia, hanya itu. "Tapi bu.. Seokjin hyung tak bisa bersama Ayah. Apa Ibu tak melihat bagaimana perilaku Ayah kepadanya?"
Hyejin membuang wajahnya kearah lain. Ia sangat mengerti, namun harus bagaimana lagi. Ia tak sanggup untuk mengurus Seokjin, apalagi akhir-akhir ini anak sulungnya terlihat aneh.
"Hanya Ayahmu yang pandai mendidik kakakmu. Ibu tak sanggup, Jungkook."
"Ibu... beri tahu aku alasan mengapa Ibu tak membawa kami berdua!" Jungkook menggenggam tangan Hyejin dengan tatapan yang tersirat sangat butuh pengertian.
"Tidak bisa Jungkook! Kami harus bersikap adil, Ibu tak bisa membiayai kalian berdua sekaligus. Enak saja jika Ayahmu tak mengurus siapapun di antara kalian."
Jungkook berdecih. Mendengar kalimat sang Ibu membuat darahnya mendidih. "Egois!" Ia berujar dingin dengan mata berkaca-kaca disertai tatapan sinis.
"Tidak bisakah Ibu untuk tidak egois. Ibu hanya memikirkan diri Ibu sendiri tanpa memikirkan orang lain yang terluka karena Ibu. Seokjin hyung sangat ketakutan akan pukulan Ayah. Bahkan bertatap wajah," air matanya tak dapat dibendung lagi.
"Maafkan Ibu... tapi Ibu benar-benar tak bisa membawanya, Jungkook."
"Omong kosong! Ibu jahat!" Jungkook bangkit kemudian keluar meninggalkan sang Ibu.
Langkah panjangnya terhenti, "hyung?"
Seokjin tak menjawab, matanya sendunya menatap sedih Jungkook. Tentunya sang adik merasa bersalah jika sudah begini.
"Kau mendengarnya?" Tanya Jungkook lagi.
Sedetik kemudian Seokjin tersenyum kecil seraya mengusap lembut bahu sang adik. "Terima kasih, Jungkook. Aku menyerah!" Kemudian melesat pergi dari hadapan Jungkook.
Entah mengapa rasanya sakit sekali melihat senyum itu. Jungkook bersumpah mulai detik ini ia membenci dirinya sendiri. Ia merasa gagal menjadi adik yang baik.
Kakak tersayangnya terlihat sangat menyakitkan.
____
Seokjin termenung di atas tempat tidur. Sambil berbaring Seokjin tak henti-hentinya mengusap lelehan air matanya yang siap masuk ke telinga.
Langit-langit kamar menjadi pemandangan terindah malam ini. Tak peduli dengan yang lainnya. Titik fokusnya hanya langit-langit kamar berwarna putih berhias jaring laba-laba disetiap sudutnya.
Sekeras apapun usaha keluarganya untuk menyuruhnya makan malam atau mungkin sudah ada dua mangkok makanan didepan pintu, Seokjin seokjin tetap bergeming.
Ia tak nafsu makan, tubuhnya sakit, rasanya dingin sekali untuk memijak lantai. Seokjin kembali demam. Namun, tak ada yang merawatnya.
"Ayah.. Ibu.. Jungkook.. aku membenci kalian!" Ucapnya pelan nan begetar, hampir terdengar berbisik.
"Aku sakit karena kalian... aku tidak kuat lagi menahannya... mengapa tak ada yang dapat membuatku bahagia? Aku ingin mati malam ini. Saksikan jasadku pagi nanti, para keparat!" []
____TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Liebe Mich | ᴋsᴊ | ✔
Fanfiction(Germany). Cintai aku. [Completed] Masing-masing dari mereka bersimpuh, mendongakkan kepala menatap lukisan awan di angkasa, kemudian bertanya-tanya kepada sang pencipta bentala, predestinasi apa yang sedang mereka genggam? ©ieuaraz, 2019