Dan lihat apa yang terjadi, tidak ada presensi Seokjin di kedai bibi Min. Jungkook sudah lelah menunggu. Sudah pukul tujuh malam. Dan ada sepuluh panggilan tak terjawab yang Jungkook diterima setelah menelpon Seokjin.
Tahu begini lebih baik Jungkook menemani ibu saja. Ah, Jungkook jadi dirundung rasa bersalah, apa kakaknya benar-benar kecewa kepada dirinya.
Maka, kemudian Jungkook melangkah pergi dari kedai menuju rumah ayah dan Seokjin. Ia harus bertemu. Ia harus membicarakan ini kepada Seokjin. Ia tak mau ada permasalahan yang terjadi secara berlarut-larut sebab mereka saudara, ikatan darah tak boleh renggang hanya karena orangtuanya berpisah.
●
Sudah berhari-hari Seokjin duduk diam dikamar tanpa melakukan hal apapun selain termenung menatap ke arah jendela yang dibiarkan terbuka.
Setelah sarapan pagi bersama sang ayah tadi, ia kembali kecewa dengan sikap sang ayah. Mereka kembali bertengkar karena ayah memberi aturan yang tidak disukai Seokjin. Peraturan baru yang membuat dirinya terasa terkekang.
Ia tidak boleh terlambat lima belas menit pulang sekolah dari jam yang telah ditentukan. Tidak boleh bertemu ibu, menelpon ibu, apalagi mencoba-coba datang ke rumah sang ibu. Mengirim pesan singkat juga tidak boleh. Seokjin mati-matian menyembunyikan ponselnya agar ayah tidak menghapus nomor ponsel ibu.
Jadinya, ia jengkel, tak mau berbicara dengan ayah dan tak memperdulikan apapun termasuk untuk dirinya sendiri.
Lagi-lagi ia menangis, rasa sesak selalu datang menghampiri disaat ia merasa kosong. Terus mencabik relung Seokjin dikala memikirkan nasib, nafasnya jadi tersenggal. Seokjin tak mengerti apa yang terjadi kepada dirinya. Selalu saja hal semacam ini datang dan memeluk erat dirinya.
Seokjin hanya bisa terisak tanpa suara, suara sakit dicekik nestapa. Rasanya tercekat hingga menimbulkan pusing. Dan terus tersedu hingga pukul mengacu ke angka delapan. Artinya sudah satu jam menangis.
Lama tercekik membuatnya haus. Tapi tidak ada air dikamar. Maka dengan langkah malas ia turun ke dapur. Tak peduli dengan wajah yang luar biasa menyedihkan. Toh ayah juga tidak akan bertanya. Kecuali ada Jungkook dirumah ini.
Tapi benar-benar ada Jungkook dirumah ini. Buktinya ia sedang duduk bercengkrama dengan ayah diruang tengah sembari menyesap teh. Dilihat lebih rinci lagi, sepertinya Jungkook datang dengan satu plastik kue. Pasti dibeli di kafe tempat Jungkook menunggu dirinya tadi.
Setelah meneguk segelas air. Ia kembali menuju kamar. Sebelumnya ia sempat melihat raut wajah ayah yang berbinar. Tampak senang sekali, padahal Seokjin yakin yang dibicarakan tak ada yang seru dan lucu. Tapi yang namanya cinta pasti sangat menyenangkan.
Seokjin mengepalkan tangan. Ini tidak adil untuknya. Jungkook boleh mengunjungi ayah sedangkan ia tak boleh mengunjungi ibu. Bahkan menghubungi. Pilih bulu, Seokjin jadi semakin benci kepada Jungkook.
Ia menutup jendela kamar kemudian merebahkan tubuh diatas kasur. Menutup seluruh tubuh dengan selimut tebal. Ah, hangat dari kulitnya tak pernah hilang sepertinya. Hangat ditubuh tapi rasanya dingin. Demam itu memang aneh.
"Hyung, maaf aku masuk ke kamarmu tanpa izin terlebih dahulu." Ucap Jungkook seraya melangkahkan kaki mendekati Seokjin berbekal satu kotak roti coklat hangat kesukaan Seokjin.
Seokjin mendengus. Dasar, tak malu menampak diri!
"Hyung, apa kau marah padaku?"
Seokjin hanya menatap sendu wajah Jungkook. Membiarkan Jungkook memeluk dirinya tanpa membalas kembali. "Mengapa tidak datang, aku sangat lama menunggumu disana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Liebe Mich | ᴋsᴊ | ✔
Fanfiction(Germany). Cintai aku. [Completed] Masing-masing dari mereka bersimpuh, mendongakkan kepala menatap lukisan awan di angkasa, kemudian bertanya-tanya kepada sang pencipta bentala, predestinasi apa yang sedang mereka genggam? ©ieuaraz, 2019