Kedua tangannya bergetar hebat bersamaan dengan kedua bibirnya yang tak kalah gugup, Seokjin menjauhkan diri, terduduk lemas memandang kedua tangannya lalu mengusak kasar surainya sampai tak berbentuk.
Ia tak menyangka akan melakukan hal ini kendati ia membeci Jungkook. Terus berfikir seraya tak sadar menumpahkan air mata, masih belum menerima betul perkara krusial di depan matanya kendati jantungnya terus berlomba-lomba untuk melompat keluar.
Seokjin masih memandang darah yang bertumpahan dari perut adiknya, menetes membasahi lantai kamar, menciptakan bau anyir sampai Seokjin pening dibuatnya.
Jungkook merasa lemas, kakinya seakan tak sanggup menompang tubuh. Rasa sakit diperutnya berdenyut brutal, sampai nafasnya tercekat. Ia ingin meminta pertolongan, ingin memohon kepada siapapun untuk menghilangkan rasa sakitnya. Namun, tenggorokan miliknya tak mengizinkan untuk bersuara.
Tubuh Jungkook jatuh tepat saat Hyunsuk dan Hyejin datang ke kamar Seokjin usai mendengar keadaan rusuh.
Mata ibu dan ayah terbelalak. Hyejin mulai menangis deras lalu wajah panik Hyunsuk beserta raganya yang bergegas mengangkat Jungkook untuk segera membawanya kerumah sakit.
Seokjin terdiam dengan wajah bingung nan cemas, meremas-remas telapak tangan. Berbagai dugaan buruk mulai berdatangan, mulai berputar dikepalanya. Tak ada yang melihat Seokjin terduduk lemas meremas kepala. Kedua orang tuanya melengos begitu saja.
Ada apa denganku?
Semuanya terjadi tanpa kusadari?
Walau sebelumnya tak menyadari, tak bisa mengelak dan mendoktrin dirinya yang tak bersalah. Pada akhirnya Seokjin merasakan takut yang sangat hebat.
Tangan bergetarnya saling meremat satu sama lain. Ia mulai terisak di sudut ruangan. Memeluk lutut dan membenamkan wajah. Seokjin kalut. Ia sangat takut.
Takut jika Hyunsuk akan membunuhnya.
____
Tidak ada satu katapun terlontar. Keduanya kompak terdiam dan sibuk berdoa untuk keselamatan si bungsu mereka.
Tusukannya tidak terlalu dalam. Namun, dokter bilang harus mendapat sedikit banyaknya jahitan.
Hyunsuk dan Hyejin terduduk frustasi dan menciptakan jarak di tengah-tengahnya. Tak ada saling menguatkan, keduanya sibuk dalam pikiran masing-masing.
Tak sanggup berlama-lama menahan emosinya. Hyunsuk segera bangkit meninggalkan rumah sakit.
Sialan kau Seokjin!
Hyejin tahu kemana Hyunsuk akan pergi. Ia tak dapat mencegah. Ia juga sama kecewanya dan kesal terhadap Seokjin. Jungkook, satu-satunya harapan Hyejin. Kesayangannya dan tak akan ia biarkan terluka.
____
Hyunsuk kalap. Ia membabi buta memukuli tubuh Seokjin di atas dinginnya lantai kamar Seokjin. Tak memperdulikan bagaimana rasa sakit yang ia torehkan.
Seokjin sudah tergolek meringkuk memeluk tubuhnya. Badannya terasa panas dingin. Air mata telah membasahi seluruh wajahnya. Rasanya sakit sekali. Sakit di dalam dada dan seluruh tubuh.
Seokjin sudah berteriak sekuat tenaga agar Hyunsuk berhenti. Rasanya sakit sekali, bahkan lebih dari tusukan gunting diperut Jungkook. Dan sialnya Seokjin tak kunjung kehilangan kesadaran.
"A-ayah, berhenti... aku tidak sanggup lagi..." Nafasnya tersendat hingga menghasilkan suara yang terputus-putus.
Ayahnya benar-benar kehilangan akal. Seokjin benar-benar tak sanggup untuk melawan lagi. "Akh..hentikan aku mohon," Hyunsuk tak peduli. "Jangan seperti ini, Ayah... lakukanlah hal yang sama,"
"Tusuk aku dengan gunting itu! Bunuh aku dengan cepat. Jangan seperti ini!" Wajahnya sudah merah padam. Urat-urat di sekitar leher dan pelipis Seokjin mulai menonjol. Ia benar-benar frustasi.
Hyunsuk berhenti, seketika darahnya membeku. Ucapan Seokjin membuat hatinya sedikit perih.
Ia melihat Seokjin yang terkapar. Tanpa niat membantu, Hyunsuk meninggalkannya begitu saja.
____
Langit jingga dan hembusan angin kencang menemani sore hari Seokjin. Dalam demam, sembari memeluk lutut, Seokjin memasang wajah tanpa gairah menatap langit, setelahnya menatap beberapa memar yang menghiasi tubuhnya.
Seokjin tak bergerak dalam dinginnya angin yang memeluk tubuhnya erat, seakan mengikat dengan ikatan mati. Hingga bergetar dan menggigil seakan tak mau melepas.
Seokjin pikir awalnya hari ini adalah hari yang terindah, Ibu yang memeluknya, Ayah yang menjemput dirinya dan berkumpul kembali dalam satu mobil. Nyatanya itu sirna dengan sangat cepat.
Semua memarnya berdenyut bersamaan dengan debaran jatungnya yang kencang. Semuanya menyakitkan. Sangat. Mengapa tidak ditusuk saja Ayah? Seokjin ingin mati ditangan orang lain. Sebab katanya, membunuh diri sendiri itu sangat hina.
Daring telepon merebut fokusnya akan luka. Seokjin mengangkatnya dengan tangan bergetar tanpa suara, membiarkan telinganya mendengar baik-baik.
"Hyung, mengapa tidak kesini? Ayo datang! Aku baik-baik saja. Jangan khawatir ya? Dan jangan takut juga!" Suara parau Jungkook terdengar sangat semangat.
Seokjin menggeram, rahangnya mengeras serta matanya memerah. Alih-alih menjawab, Seokjin malah melempar ponsel pintarnya dengan kencang. Tak peduli jika ponsel pintarnya hancur dengan parah.
Ia marah, takut dan gelisah. Seokjin semakin menggigil, lebih tepatnya menggigil ketakutan. Rasanya pening sekali. Ia tak dapat berkata-kata hingga pada akhirnya terisak dengan keras.
Aku membencimu, Jungkook.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Liebe Mich | ᴋsᴊ | ✔
Fanfiction(Germany). Cintai aku. [Completed] Masing-masing dari mereka bersimpuh, mendongakkan kepala menatap lukisan awan di angkasa, kemudian bertanya-tanya kepada sang pencipta bentala, predestinasi apa yang sedang mereka genggam? ©ieuaraz, 2019