Seokjin duduk seraya menundukkan kepala di kursi pada taman yang disediakan oleh sekolah. Air wajahnya gelisah, ia menahan air mata yang mendesak deras untuk keluar. Lagi-lagi, atau mungkin akan teru-menerus, ia harus kembali disakiti oleh perkataan sialan yang membunuh jiwanya. Dan itu semua diciptakan oleh si pengacau Jungkook. Ini semua karena Jungkook!
Lihatlah adikmu! Etikanya baik dan ia pintar. Sedangkan kau, apa yang dapat dilihat dari dirimu?
Seokjin tersenyum getir disertai setetes air mata. Tidak hanya orang tuanya, beberapa guru di sekolahpun juga begitu. Bahkan seolah belum cukup, teman-temannya juga ikut membandingkan dirinya dengan sang adik.
Aku lebih menyukai adiknya, ramah dan pintar.
Bahkan sampai saat ini aku masih bertanya, mengapa si Seokjin bodoh dapat masuk di kelas ini?
Seharusnya seorang kakak harus lebih baik.
Seokjin ingin menjerit saja rasanya. Selalu Jungkook. Jungkook itu lebih bejat dibandingkan dirinya. Tidak ada yang istimewa dari Jungkook. Jadi, tidak ada yang harus dibanggakan dari adiknya.
Dari arah kanan ketiga sahabatnya menghampiri. Hoseok menepuk pelan pundak Seokjin hingga mau tak mau Seokjin menoleh. "Masih memikirkan kata guru gila itu? Sudahlah Seokjin, tak perlu dipikirkan."
"Aku—"
Yoongi merangkul pundak Seokjin dengan kasar. "Kau 'kan yang mengatakan jika guru itu gila? Jadi, apa yang dia katakan itu tidak benar. Sudahlah, menurutku Jungkook tidak sehebat itu."
Seokjin mendengus kesal. Kata 'sudahlah' nyatanya tak bisa membuatnya melupakan kesedihan yang senantiasa menyiksa. Yang ia bingungkan, mengapa banyak sekali guru yang ingin menjatuhkan mentalnya. Seharusnya mereka tidak begitu, apalagi Seokjin adalah kakak dari murid tersayang mereka.
"Jangan sedih! Setelah ini aku akan selalu mengingatkanmu dan membantumu jika ada tugas." Kata Namjoon.
"Ya, kau yang terbaik Namjoon!" Ucap Seokjin kemudian tersenyum.
"Yasudah ayo makan! Terlebih kau Seokjin, pasti tidak diberi uang saku lagi. Aku traktir." Bagi Seokjin, Namjoon memang teman terbaik. Bukan itu saja. Kehidupan Namjoon-pun tak kalah baik.
Keluarganya harmonis dan ramah, uang yang banyak serta otak yang pintar. Dan yang paling sempurna; Namjoon sangat baik kepada siapapun terlebih kepada Seokjin.
Tidak seperti dirinya; keluarga hancur, Ayah yang kasar, ekonomi yang tiris, bodoh dan tidak berguna, belum lagi sifat tertutup dan dingin. Sejujurnya Seokjin sangat lelah dan iri hati. Kapan, sih, ia akan bertukar posisi dengan Namjoon?
"Ada apa Seokjin?" Suara Hoseok memecah lamunan Seokjin.
"Tidak.."
Yoongi memilih tak acuh. Ia melanjutkan kegiatan makannya. Sementara Hoseok dan Namjoon menyimak gelagat Seokjin.
"Sebenarnya..." Seokjin menggeleng. Kedua sahabatnya semakin bingung sedangkan Yoongi mendengus kesal.
"Tetaplah menjadi sahabatku."
Yoongi, Hoseok, beserta Namjoon. Ketiganya terbatuk saat mendengar kata melankonis dari Seokjin. Terdengar datar dan ragu memang. Namun, ketiganya tak pernah mendengar kalimat tersebut setelah satu tahun persahabatan mereka.
____
Jungkook berdiri di depan gerbang sekolah. Menunggu presensi Seokjin yang barangkali akan berlalu.
Ia menginginkan rencananya berhasil lewat kejutan agar keinginan mereka berdua tercapai. Ingin nanti kembali berjalan seperti dulu lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Liebe Mich | ᴋsᴊ | ✔
Fanfiction(Germany). Cintai aku. [Completed] Masing-masing dari mereka bersimpuh, mendongakkan kepala menatap lukisan awan di angkasa, kemudian bertanya-tanya kepada sang pencipta bentala, predestinasi apa yang sedang mereka genggam? ©ieuaraz, 2019