Punggung kokoh milik Seokjin menahan kuat pintu kamarnya agar tidak terbuka—padahal ia sudah menguncinya. Namun akibat rasa takut yang membumbung kelewat tinggi, ia menjadi bingung sekaligus gugup. Di dalam kepala hanya berputar untaian kata tentang bagaimana cara agar tidak ada siapapun yang akan masuk ke dalam kamar tidurnya.
Kedua tangan Seokjin sibuk menutup kuat-kuat kedua telinganya. Seokjin menggeleng keras beserta tubuhnya yang bergetar hebat. Suara Jungkook beserta pekikan orang tuanya yang saling sahut-menyahut membuat ia pening.
Ia takut berhadapan dengan Jungkook di saat pertengkaran antara ibu dan ayah sedang berlangsung. Seokjin hanya, sangat, tidak ingin menunjukkan air matanya di depan sang adik.
Karena Seokjin membenci Jungkook.
Sementara itu, Jungkook semakin brutal mengetok pintu kamar Seokjin. Meminta pertolongan kepada sang kakak betapa ia membeci sekaligus takut bukan main dengan apa yang ia lihat dan dengar saat ini. Sungguh, Jantung miliknya berdetak tidak normal perihal betapa kencangnya jantung itu bekerja. Adrenalin milik Jungkook tengah dipacu sangat deras.
Malam ini Ayah dan Ibunya bertengkar hebat untuk yang kesekian kalinya. Jungkook tidak mengerti perkara apa lagi yang menjadi penyebab pertengkaran mereka.
Jungkook takut, ia butuh sandaran atau bahkan hanya sekadar genggaman tangan. Hanya Seokjin agaknya satu orang yang dapat Jungkook percaya saat ini. Ia sangat menyayangi kakaknya, lebih dari apapun, termasuk dirinya sendiri.
Entah mengapa, hanya dengan sentuhan kecil dari Seokjin rasanya seluruh ketakutan Jungkook pergi begitu saja. Entah mengapa, yang mengerti hanyalah sentuhan itu seakan memberikan tanda bahwa Seokjin masih berada di dekatnya untuk selamanya—tidak akan pernah dibiarkan seorang diri.
"IBU MACAM APA KAU HYEJIN?! SEOKJIN TELAH RUSAK. SETELAH SEMUA INI SELESAI, KAU YANG AKAN MENGURUS DIA!"
"SEHARUSNYA KAU YANG MENGURUS SEOKJIN. KAU SEORANG PRIA SEKALIGUS AYAH. AKU TIDAK BISA! DIA TERLALU SULIT UNTUK DISENTUH."
Baik Jungkook maupun Seokjin. Keduanya sama-sama bertumpahan air mata seraya memejamkan netra kuat-kuat juga menyandarkan punggung pada permukaan benda keras guna menampung bobot tubuh yang terasa lemas.
"Apa kau mau lihat sentuhan apa yang akan aku berikan? Baiklah." Maka Hyunsuk mengambil langkah besar menuju kamar Seokjin beserta raut berang, ia memikul angkara besar di pundaknya.
Melihat itu, sontak Jungkook panik. Tangan dan suaranya semakin keras memanggil Seokjin, "Hyung buka. Aku mohon! Aku takut—"
Seokjin tetap menulikan pendengarannya. Masih menutup telinga dan menahan pintu sekuat tenaga oleh punggung yang bergetar hebat. Sampai pada akhirnya ketokan pintu dari tangan Jungkook berganti dengan ketokan pintu yang berasal dari tangan sang ayah.
"BUKA, SEOKJIN!" Deras dan lantang, bukan terpandang tegas, ia berlebihan; nyaris terlihat kejam.
Seokjin semakin ketakutan. Ia takut sekali jika Hyunsuk kembali menyakiti fisiknya.
Dalam posisi duduk Seokjin menahan pintu kamarnya. Masih dengan tangan yang sibuk menutup telinga, mengabaikan panggilan Ayah dan larangan Jungkook untuk tidak membuka pintu. Ia benci suara siapapun saat ini.
Kadar angakara di dalam dirinya semakin tinggi. Dengan gerak cepat Hyunsuk berpindah ke laci di sebelah pintu kamar Seokjin. Kunci menjadi tujuannya saat ini. Namun, tangan kecil Jungkook tak kalah cepat menekan laci itu agar Hyunsuk tidak mendapatkan kunci kamar Seokjin.
"Menyingkirlah, Jungkook!" Tubuh Jungkook tersungkur hanya dengan satu dorongan dari Hyunsuk.
Tubuh Seokjin berubah menegang saat pintu kamarnya berhasil dibuka oleh sang ayah. Air matanya menjadi menguras deras, menganak sungai, bak ada bala disana. Nyatanya mata itu memang menyiratkan yang demikian.
Hyunsuk menarik pergelangan tangan sang anak dengan keras. Hingga Seokjin berdiri tanpa berani menatap.
Makian terus menerus terlontar dari mulut Hyunsuk. Dengan kepala tertunduk Seokjin hanya bisa menangis tanpa suara mendengar seluruh kebisingan yang mencemari suasana hati. Batinnya sangat sakit. Tapi tiada siapapun yang dapat menolong batinnya yang terluka dalam.
"Kau lebih dewasa dari Jungkook. Tapi sifatmu lebih kekanakan, Seokjin. Berpikirlah, kita tidak seperti dulu lagi. Bahkan Jungkook bisa mengerti. Mengapa kau tidak? Tingkahmu selalu membuatku marah!" Lagi-lagi dirinya harus menjadi perbandingan yang bertolak ukur dengan Jungkook. Seokjin benci, Seokjin tidak suka.
Jungkook dan dirinya berbeda. Dan dia selalu dikaitkan satu sama lain, sialnya Seokjin berpihak pada stigma negatif. Oleh karena itu, Seokjin tidak menyukai sang adik.
"Kau pikir dengan membolos sekolah akan membuatku bangga? Dasar memalukan!" Hyunsuk menggenggam sebuah ikat pinggang yang tadinya tergeletak dikasur, satu pecutan, kemudian terus bertambah. Untuk menjerit saja Seokjin tak sanggup. Ia terlalu malu berteriak di depan Jungkook.
Seokjin hanya bisa meringis disertai tangisan tanpa suara. Bibirnya bergetar begitu saja sesekali sengaja mengigitnya dari dalam. Jungkook dan Hyejin hanya bisa memandang Seokjin getir.
Ingin rasanya Jungkook menghentikan Hyunsuk yang sedang melayangkan pecutan kepada Seokjin. Namun, Hyejin menahan tubuhnya. Jungkook hanya dapat meronta dengan tangisan yang deras. Hyejin mendekap tubuh Jungkook agar anaknya berhenti meronta.
Selepas Hyunsuk rasa cukup untuk memberi anaknya pelajaran, usai dirinya puas melampiaskan suatu angkara yang ia anggap benar terhadap anaknya, tubuh Seokjim meluruh ke lantai, Seokjin terduduk sembari menangis deras. Pertahanannya runtuh, pada akhirnya Seokjin terisak pilu dengan oktaf yang tinggi. Memukul dadanya dengan kepalan tangan agar rasa sesaknya berkurang.
Jungkook melepas dekapan Hyejin yang mengendur kemudian berjalan memeluk Seokjin dengan erat. Ia mengelus lembut punggung bergetar kakaknya.
"Maafkan aku, hyung." Jungkook merasa bersalah. Sedari tadi selalu kata perbandingan antara dirinya dengan Seokjin dalam amarah sang ayah. Ia merasa jahat dan tak berguna.
"Aku akan mengobati lukamu, hyung." Seokjin menggeleng, diusapnya air mata yang menempel pada wajahnya yang terlahir untuk menyedihkan. "Aku baik-baik saja. Pergilah, Jungkook! Tinggalkan aku sendiri." Jungkook mengangguk kendati rasanya berat sekali untuk melangkah meninggalkan Seokjin yang terguncang.
Ia memacu tungkai untuk menciptakan jarak jauh dari kamar Seokjin, begitu juga dengan Hyejin yang ikut meninggalkan kedua putranya yang membuat suasana melankonis.
Seokjin butuh waktu sendiri pikir mereka. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Liebe Mich | ᴋsᴊ | ✔
Fanfiction(Germany). Cintai aku. [Completed] Masing-masing dari mereka bersimpuh, mendongakkan kepala menatap lukisan awan di angkasa, kemudian bertanya-tanya kepada sang pencipta bentala, predestinasi apa yang sedang mereka genggam? ©ieuaraz, 2019