[12] disappeared

3.2K 372 71
                                    

Bunyi suara jarum jam mengambil alih keheningan suanasa kelas hari ini, semua murid fokus pada tugas yang diberikan guru sedang Seokjin memilih menatap hamparan langit lewat jendela disudut ruangan tempat ia duduk.

Menghela nafas berat, suasana hatinya merasakan kegundahan. Satu hembusan nafas ia coba untuk melupakan, dua hembusan nafas ia coba untuk tetap berfikir jernih, dan seterusnya kedua percobaan itu lenyap dengan Seokjin yang mendesah kecewa.

Lantaran sudah lelah mengintropeksi diri, menggali kesalahan dari beberapa jam sejak tadi. Namun, nihil, Seokjin dibiarkan kebingungan atas perlakuan ketiga temannya hari ini.

Namjoon tidak lagi tersenyum saat bertatap wajah dengannya, Hoseok tidak lagi mengagetkan dirinya untuk berjumpa, dan Yoongi yang sama sekali tak mengacuhinya. Mereka bertiga kompak untuk mendiamkan Seokjin, bahkan nyaris seperti menjauhi. Jika untuk kejutan di hari ulang tahun, hari kelahiran Seokjin masih beberapa bulan lagi. Lagi pula Namjoon tidak berbakat dalam rencana basi seperti ini.

Sejak siang tadi, Seokjin tetap tidak berani memulai konversasi, menanyakan keadaan mereka, menanyakan letak kesalahan dirinya. Malah berakhir meninggalkan Seokjin yang termenung dengan berbagai spekulasi tentang mereka.

Sampai duduk diam di bis-pun, Seokjin tetap memikirkan keanehan teman-temannya, menatap teriknya matahari dan menghiraukan bunyi nyaring dari perutnya. Sebab kejanggalan dari sikap mereka Seokjin tidak ditraktir untuk hari ini, maka sepanjang hari ia akan kelaparan. Jika terus-menerus bisa-bisa Seokjin mati kelaparan. Tapi jauh dari persoalan makan dan traktiran atau sebagainya, jauh dilubuk hatinya yang paling dalam—Seokjin teramat sangat menyayangi mereka. Menganggap Namjoon sebagai peri dalam hidupnya, Yoongi sebagai obatnya dan Hoseok sebagai mataharinya.

Satu hari tanpa celotehan mereka membuat Seokjin uring-uringan. Padahal jika dipikirkan kemarin sore mereka masih saling bersenda gurau, duduk dibawah pohon rindang ditemani masakan ibu Namjoon yang sukses membuat lidah menari-nari, saling melontarkan lelucon hingga tertawa terpingkal-pingkal, dan percakapan hangat yang membuat Seokjin semakin merindukan keluarganya.

Entah apa gerangan, hari ini seakan membalikkan fakta bahwa mereka bertiga adalah sahabatnya.

Seokjin mendesah kasar saat menyadari dirinya telah sampai pada rumahnya yang indah bak neraka ini, membuka pintu perlahan, terlihatlah ayah yang terduduk santai dengan menggantungkan kaki di atas meja tamu seraya menghisap puntung rokok.

Asapnya menari-nari di udara sepanjang ruangan hingga Seokjin terbatuk dan merasa pening, lalu terlonjak satu langkah ke belakang kala puntung rokok yang pendek milik ayah melayang ke arahnya. Ayah menatap sinis sedang Seokjin menunduk takut, "Nasib baik aku tidak menghajarmu karena pulang terlambat. Aku meninggalkan sepotong roti dimeja, setelah mengganti seragam, makanlah!"

Dalam tertunduk, Seokjin tersenyum. Menjalankan tungkai untuk melaksanakan perintah ayah, ia menggenggam sepotong roti tanpa selai. Menguyah dengan hati yang luarbiasa senang, kendati hanya sepotong roti Seokjin senang bukan kepalang.

Satu tangan mengusap air mata, terharu, satu awalah ayah akan berubah baik. Seokjin tetap menunggu datangnya bahagia.

________

Sekon demi sekon telah terlewati, Seokjin kerap melihat burung kecil senantiasa terbang di atas langit sekolah menandakan dua minggu hal demikian terjadi, maka keadaan tetap sama—kejanggalan ketiga sahabatnya masih membuat Seokjin kebingungan.

Hingga akhirnya, pada saat jam istirahat kelas, kala guru mengadakan rapat mendadak, siswa yang sibuk dengan urusannya masing-masing, pun ketiga sahabatnya yang saling berkumpul tanpa presensinya, Kim Seokjin mengumpulkan keberanian dari sudut ruang kelas; sendiri tanpa siapapun yang menyapa. Menata kalimat yang akan menjadi konversasi terhadap ketiga sahabatnya beberapa detik nanti.

Liebe Mich | ᴋsᴊ | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang