[17] Aku pernah bahagia

4.7K 427 167
                                    

Sang surya bergerak perlahan menampakkan cahaya kuning yang menerangi bumi usai malam tadi di taburi rintik air yang perlahan turun kemudian berubah deras hingga basah dan lembab.

Pagi ini berbanding terbalik. Namjoon membuka tirai untuk menyaksikan sengatan warna kuning dipagi hari. Pagi yang cerah dan segar. Setelah meraup rakus udara pagi yang menenangkan, ia berjalan keluar kamar dengan seragam sekolah yang rapi juga tentunya wangi.

Menemukan ibu yang merapikan meja dan menghiasinya dengan hidangan hangat yang menggugah selera. "Selamat pagi, ibu!"

Setelah diberi kecupan hangat di pipi, Namjoon melangkah menuju kamar tamu guna menemukan presensi Seokjin. Membuka pintu kayu tersebut perlahan, lantas menemukan Seokjin yang menggigil hebat.

Segera Namjoon bergegas membalikkan tubuh Seokjin yang meringkuk membelakangi dirinya. Dilihatnya ada darah yang agak kering pada kening Seokjin dan darah segar yang mengalir di hidungnya.

Namjoon panik, bersuara keras memanggil ibu. Seokjin demam tinggi yang memungkinkan dirinya mimisan. Perihal luka pada kening dan beberapa goresan merah pada kulit Seokjin Namjoon abaikan sejenak.

Ibu datang tergopoh-gopoh lalu memekik melihat  Seokjin. Tangan halus ibu datang mengusap surai Seokjin lembut juga menepuk pelan pipi Seokjin seraya bersuara menyuruhnya bangun.

Seokjin mengerjap sejemang, ia hanya dapat membuka sedikit matanya sebab sangat lelah hanya sekedar mengangkat kedua kelopak miliknya. Menggenggam jari ibu Namjoon dengan sangat erat, ia berucap parau, "Ibu, bagaimana keadaan Jungkook? Apa ayah mau memaafkan aku?"

Lalu air mata Seokjin menetes begitu saja dari netranya yang terkatup-katup. Membuat ibu Namjoon bersedih hati juga Namjoon yang merasakan hal demikian.

"Dia mengigau, nak. Selesaikan sarapanmu lalu berangkat ke sekolah. Ibu akan merawatnya."

Tentunya Namjoon bersedih hati, sangat. Sarapan dan perjalanan menuju sekolahnya di iringi dengan sekelebat keadaan Seokjin yang memprihatinkan pagi-pagi tadi. Bahkan ketika ia sudah berada disekolah sejak beberapa jam yang lalu.

Yoongi dan Hoseok dibuat terheran-heran oleh raut resah Namjoon. "Hei anak pintar, ada apa denganmu?" Tanya Yoongi.

"Memangnya aku kenapa?"

"Kau terlihat gelisah, sedang memikirkan apa?"

Namjoon menghembuskan nafas perlahan. Bagaimana caranya menjelaskan keadaan Seokjin kepada kedua sahabatnya. "Aku memikirkan Seokjin."

Sudah ditebak. Kedua sahabatnya kompak langsung memalingkan wajah dan berdecih. Namjoon menjadi tak enak hati mengingat mereka membenci Seokjin sebab masalah antara Seokjin dengan dirinya. Namjoon akan memperbaiki ini. Seokjin tidak boleh dibenci sebab Seokjin tak bersalah dan juga sama berada di pihak yang terluka, ia akan menjelaskan ini. Dari awal memang karena Namjoon.

Pikiran si anak pintar tengah rumit untuk merangkai kata, tapi baiklah bagaimanapun ia harus mencoba, "Hei dengar! Pertama, maafkan aku. Seharusnya kalian tidak seperti ini kepada Seokjin. Masalah ini terjadi antara aku dengan dia. Jadi, kalian tak seharusnya ikut—"

"Ikut campur 'kan maksudmu? Kau pikir kami ini apa, Namjoon? Kita bukan hanya sekedar teman. Aku sudah menganggap kau dan Yoongi adalah keluargaku."

"Lalu Seokjin selama ini kau anggap apa?" Namjoon tak mengira ia bisa menaikkan oktaf suaranya. Tapi ia memang tak habis pikir, seingatnya dulu mereka berempat bukan bertiga. Apa karena masalah priabadinya, kenangan bersama Seokjin langsung hilang sekejab mata dari pikiran kedua temannya?

"Hoseok, dia mulai menderaskan suaranya perihal Seokjin. Sudahlah dia benar, kita tak perlu ikut campur. Sulit memang jika berurusan dengan dengan orang baik. Dengar, ya, Namjoon! Orang yang menghancurkanmu adalah orang terbusuk yang pernah ada. Terserah bagaimana dengan dirimu."

Liebe Mich | ᴋsᴊ | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang