[16] Don't leave me alone

3.9K 406 62
                                    

Seokjin terengah-engah di pinggir jalan seraya memegang lutut yang gemetar, sejemang berhenti usai berlari dengan segenap sesak yang menumpuk pada dadanya yang lapuk sebab lelah disakiti.

Seokjin buntu, ia kehilangan akal. Kehilangan asa perihal bahagia itu akan datang. Bahkan langit telah berganti warna menjadi hitam, tanpa bulan apalagi bintang. Langit hitam dengan segenap awan mendung yang sebentar lagi akan menumpahkan air matanya. Dugaannya benar, siang yang terik akan datang hujan di malam hari.

Seokjin pasrah tentang apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Rinai mulai berjatuhan sementara Seokjin memilih duduk memeluk tubuh di atas trotoar. Menyembunyikan wajah diatas lutut yang ditekuk, Seokjin menangis,  terisak pilu.

Tak peduli walau rintik kecil menjadi hujan deras yang membasahi bumi, termasuk dirinya yang basah tak bersisa. Tak punya rumah untuk dipijak lagi, ia lelah untuk mencari teduhan.

Bahunya bergetar hebat, terisak sangat kuat, Seokjin sungguh hancur malam ini. Ditemani tangisan awan pada langit hitam tanpa secercah cahaya---serupa pada hidupnya. Tak ada lagi harapan untuk bahagia, kehilangan asa untuk berubah menjadi lebih baik, tepatnya, Seokjin tak punya apapun untuk kembali hidup.

Frustasi, sungguh frustasi. Jika seperti ini, mana ada tangan dingin yang akan menyapa bahunya. Manusia manalagi yang mau menerima Seokjin?

Biarlah dia mati dihujam tangisan awan, biarlah dia kedinginan sampai jantungnya berhenti memompa darah, biarlah paru-parunya lelah menerima udara. Seokjin sangat lelah menggerakkan kaki untuk menjatuhkan diri ke dasar jurang untuk mengakhiri hidup.

Meringkuk memeluk lutut, ada satu kalimat yang berbanding terbalik; satu tangan dingin kini telah menepuk pundaknya. Seokjin berbalik dengan netra merah yang berair disertai bibir memucat, miris, wajah menyedihkan itu tampak panik melihat orang yang menyapa dirinya.

"Namjoon?"

Seokjin berusaha berlari kala pupil matanya menatap presensi Namjoon yang merunduk menyentuh bahunya dibawah payung yang mekar jika saja anak laki-laki tersebut tidak menahan kuat pergelangan tangan Seokjin.

"Kau baik-baik saja?" Ucap Namjoon dengan raut yang kentara khawatir. Seokjin menjadi malu sebab mengingat masalahnya kepada Namjoon.

Seokjin menudukkan kepala, menutupi wajahnya yang kembali menangis. Ia sangat ingin Namjoon pergi secepat mungkin dari hadapannya. Seokjin tak sanggup menampakkan wajahnya dihadapan semua temannya lagi.

Sekali lagi Seokjin berusaha bangkit lalu berlari untuk menjauh dari Namjoon, namun, sahabatnya tetap melakukan hal yang sama; menahan Seokjin untuk mengeluarkan suara perihal keadaan dirinya. "Jawab aku, Seokjin!"

"Tidak, maafkan aku, lepaskan, Namjoon!"

Namjoon semakin merasa ada suatu hal besar yang terjadi sehingga Seokjin sangat frustasi seperti saat ini. Meskipun ia kecewa besar terhadap Seokjin, Namjoon bukan manusia jahat yang membiarkan orang lain terduduk kedinginan di pinggir jalan. Lagipula, kenangan bersama temannya tidak mudah dihilangkan begitu saja.

"Jangan takut padaku, mari aku antar kerumahmu!"

Seokjin menggeleng, menggigit kuat bibirnya yang memucat. Rumah yang mana? Rumahnya telah hancur tak bersisa. Rasanya sesak, Namjoon kembali mengingatkannya pada ayah, ibu dan sang adik.

"Tolong lepaskan, anggap saja kau tak pernah mengenalku. Biarkan aku disini, Namjoon."

Rahangnya mengeras, Namjoon menyamakan posisi tubuh Seokjin untuk berdiri berhadapan dengannya. "Bukan sebagai teman, aku bukan manusia jahat seperti dirimu. Siapapun itu, kenal maupun tidak, aku tak akan membiarkan begitu saja orang yang terduduk lemas dibawah hujan deras malam-malam begini."

Liebe Mich | ᴋsᴊ | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang