#Ramenuku03nomor10
#HijrahSOS
kolab Faridah WardahPart 10 (POV Fahmi)
💓💓💓
Dentum musik di sebuah diskotek menjadi hiburan tersendiri bagiku. Aktivitas yang padat serta menguras pikiran membuatku mencari tempat penghilang penat. Maksiat pun jadi pelampiasan, kala diri ini tak mampu lagi berpikir jernih tentang kehidupan.Agama? Jangan tanyakan itu padaku. Sedari kecil Mama mengajarkanku salat, mengaji, dan pengetahuan lainnya tentang Islam. Semua itu kulakukan hanya ketika bersamanya. Setelahnya, aku tak pernah peduli tentang Tuhan dan perintah-Nya.
Menjadi seorang CEO bukan hal yang mudah. Aku bekerja keras demi mendapatkannya. Saat ini, profesi itu terkadang membuatku hampir gila.
***
Aku melangkah keluar ruangan, menghampiri sekretarisku yang sedang sibuk merapikan berkas-berkas di mejanya. Kulirik jam di tangan, pukul delapan. Dia pasti bergegas untuk segera pulang.Terkadang ingin aku menggodanya. Berpikir untuk menjadikannya hiburan seperti wanita-wanita yang kukencani. Tapi skandal antara atasan dan bawahan dapat menghancurkan karirku.
"Bella, sudah mau pulang?"
"Menurut Bapak?" Dia menjawab sekenanya seraya merapikan ikatan rambutnya.
Begitulah Isabella. Wanita yang sudah dua tahun ini menjadi sekretarisku. 'Accounting & Tax Manager' merekomendasikannya setelah berkali-kali aku memecat sekretaris baru.
"Kamu pulang cepat mau ngapain, Bell?"
"Cepat, Pak? Ya ampun, ini udah jam delapan kali, Pak. Hampir setiap hari saya lembur, bahkan kadang sampai jam sembilan," keluhnya.
"Tapi uang lemburnya mantap, kan?"
"Dih, mending gak lembur deh, Pak. Badan saya sakit semua karena kebanyakan kerja."
Aku menahan tawa melihat ekspresinya. Wanita ini terlihat menggemaskan dengan kepolosannya dalam berbicara. Belum lagi porsi makannya yang seperti kuli bangunan. Tapi anehnya, postur tubuhnya terlihat proporsional bak model.
"Permisi, Pak. Saya duluan." Isabella beranjak meninggalkanku yang sedang pusing dengan semua pekerjaan.
Kali ini aku tak bisa memaksanya lembur lebih lama. Sebuah laporan keuangan yang kuperiksa tidak bisa kudelegasikan padanya. Percuma saja ia lembur kalau hanya untuk menjadi pajangan di ruangannya.
Aku kembali ke ruangan. Menatap tumpukan berkas yang seolah menertawaiku. Ah, benar-benar membuatku hampir gila.
Saat-saat seperti ini membuatku ingin menjernihkan pikiran, sebelum kembali memeriksa semua laporan. Aku mengambil kunci mobil, meninggalkan kantor dan menghubungi Nessa untuk menemaniku malam ini.
***
Alunan musik disko serta lampu warna-warni menjadi teman saat malam. Aku menunggu Nessa di sebuah diskotek tempat biasa kami bertemu. Tak sering, hanya sesekali jika aku menginginkannya.Tak lama menunggu, sebuah sentuhan lembut di pundak membuatku menoleh. Gadis itu, tepatnya kekasih pertamaku pun tiba. Pakaian serba minimalis berwarna merah membuatnya semakin terlihat eksotis.
Aku pertama kali memacarinya ketika masih di bangku kuliah. Seorang mahasiswi cantik yang ternyata adalah 'ayam kampus' itu mampu membiusku untuk menjadi pacarnya selama setahun. Sebelum akhirnya aku memutuskan hubungan setelah mengetahui jati dirinya.
Cinta? Aku tak pernah mengerti apa itu cinta. Mungkin ia sudah terkubur lama seiring kekecewaanku pada Nessa. Hal itu membuatku menganggap semua wanita seperti dirinya adalah sama, termasuk Isabella.
"Lama tidak menghubungiku ...," ucapnya sembari menyapukan jari-jari lentiknya di leherku.
"Baru sebulan," jawabku. Aku mengarahkan dagu ke lantai dua gedung ini. Nessa sudah paham akan ajakanku.
Kami melangkah menuju kamar yang biasa kupakai bersama para wanita. Nessa menggamit lenganku dengan manja. Seolah tak ingin aku melepaskannya lagi.
Tidak! Aku tak ingin berkomitmen pada wanita. Mereka hanya menyusahkan, bahkan membuat akal tidak waras. Aku hanya ingin bermain dan bersenang-senang dengannya.
***
Bulan Ramadan berlalu, hari kemenangan bagi mereka yang berhasil meraup pahala pun tiba. Kantorku turut mengadakan acara makan bersama seluruh karyawan di hari pertama bekerja setelah libur lebaran.Isabella, aku belum melihatnya. Mestinya pukul tujuh ia sudah tiba seperti biasa. Ah, mungkin karena pagi ini belum efektif bekerja, masih acara makan bersama, jadi ia sengaja datang terlambat.
Aku bosan dengan acara ini. Kulirik ke arah luar, berharap Isabella segera tiba. Setidaknya ia dapat kumanfaatkan untuk segera kembali ke ruangan.
Tak lama ia muncul bersama salah satu karyawati. Menuju meja hidangan dan mengambil hampir semua jenis makanan yang ada. Si tukang makan, tak pernah menjaga 'image' di hadapan lelaki seperti gadis-gadis pada umumnya.
Bisik-bisik karyawan terdengar di telinga. Sosok yang mereka bicarakan kini tengah menikmati makanan di piringnya tanpa malu-malu. Bagai tak pernah melihat wanita cantik, mereka begitu terpesona bahkan ingin memiliki Isabella.
Kulihat seorang karyawan menghampiri Isabella dan temannya. Pria itu, yang aku tidak tahu namanya, namun aku pernah melihatnya di diskotek bersama seorang wanita. Bahkan mereka masuk ke dalam sebuah kamar.
Terdengar dari tempatku duduk, pria itu mencoba mendekati Isabella. Bahkan membuat janji bertemu dengannya. Mendadak rasa tak sukaku padanya menyeruak. Aku tahu persis lelaki itu seorang 'player', tak berbeda denganku.
Isabella yang kukenal ceplas-ceplos itu tak ingin kubiarkan jatuh ke dalam perangkap lelaki itu. Entah kenapa mendadak aku ingin melindunginya dari buaya darat di hadapannya.
***
Malam ini sulit bagiku memejamkan mata. Alih-alih mlindungi Isabella dari seorang buaya darat, justru aku sendiri si brengsek yang hendak menerkamnya.Berawal dari niat iseng mengerjainya, justru malah membuatnya takut. Baru kali ini aku melihatnya dalam kondisi memohon dan ketakutan. Sekretaris sexy itu menangis di hadapanku.
'Tak pernah disentuh', aku sedikit tak percaya dengan ucapannya. Namun sorot matanya menunjukkan kejujuran. Mendadak penyesalan menghampiriku... tak seharusnya aku mengerjainya.
***
Pagi yang cerah, namun tak secerah hatiku yang tengah gusar melihat Isabella. Kecanggunan setelah kejadian semalam membuatku ingin segera mengakhirinya. Mengajaknya keluar mungkin bisa sedikit mencairkan suasana.Kulihat ada yang berbeda dari penpilannya. Lebih sopan dan tertutup. Apakah karena ucapanku semalam? Aku semakin tidak enak padanya. Tapi penampilannya ini justru membuatnya semakin anggun.
Ah, tidak. Sejak kapan aku memuji seorang wanita? Isabella sama sekali bukan tipeku. Aku menepis jauh-jauh perasaan yang mungkin hadir secara perlahan.
Keterkejutanku akan dirinya bertambah ketika mendengar kisah hidup yang ia ceritakan pada Mama. Wanita tangguh namun malang. Iba sekaligus haru, itu yang kurasakan padanya. Sebatas itu, tidak lebih. Aku tak ingin ada benih-benih cinta terhadap wanita, apalagi si tukang makan seperti Isabella.
Tak dapat kupungkiri, sejak kejadian itu, sosok Isabella selalu hadir di pikiranku. Benarkah ia tak pernah disentuh lelaki manapun? Bagaimana ia bisa menjaga dirinya di tengah kehidupan ibukota yang hingar-bingar ini?
Isabella ... perlahan aku mulai suka memperhatikanmu. Merindukan ucapan-ucapan ketus kala aku menggodamu. Ada sebuah rasa yang sulit kuartikan. Mencoba untuk membuangnya, justru perasaan itu hadir lebih dalam.
Sepertinya aku harus mengubur dalam prinsipku untuk tak memiliki komitmen dengan wanita. Nyatanya, aku merasa ingin memiliki dia, Isabella. Entah cinta atau obsesi, yang jelas aku hanya ingin terus bersamanya, melihatnya ceria seperti sedia kala.
💓💓💓
KAMU SEDANG MEMBACA
Faith and Love ✔️ Telah Terbit
Ficção GeralKisah seorang sekretaris lugu dan atasan yang hobi 'bermain' dengan para wanita. Keduanya menjemput hidayah pada waktu yang bersamaan. Pada akhirnya mereka saling jatuh cinta setelah mengalami berbagai konflik. Persiapan pernikahan pun dilakukan set...