#Ramenuku03nomor10
#HijrahSOSIsdamaya Seka dan Faridah Wardah
"Zina mata? Zina hati? Kayak gimana tuh, Pak Ustaz Tsabit?" tanya Fahmi penasaran.
"Lu ngeliatin dia, ngeliatin fotonya. Gak puas sekali pandang. Itu udah zina mata."
"Kalau zina hati?"
"Lu mikirin dia sampai lu abai sama yang nyiptain dia."
Fahmi termenung. Selama ini yang ia lakukan ternyata termasuk zina. Ia beristigfar dalam hati.
"Terus apa yang mesti gue lakuin, Bit?"
"Nikahi dia."
___________________🌹🌹🌹🌹________________Part 17. Ikatan
'Dipikir gampang apa nikahin anak orang? Kalau Bella nolak gimana? Gue harus pastiin dulu, Bella mau ga dilamar?' Jemari Fahmi membolak-balik halaman file laporan di tangannya, tapi pikirannya melayang-layang, 'Bella, ... dia terlalu polos. Sekarang sementara dia aman dari Delon, tapi besok-besok apa dia bisa menghindar dari kunyuk-kunyuk yang lain? Apa gue bisa datang tepat waktu seperti kemarin?'
Fahmi terus bermonolog dalam batinnya, di satu sisi Fahmi ingin melindungi Isabella, tapi di sisi lain, 'Bella bawahan gue, gue paling anti buat skandal sama bawahan. Makanya sampai sekarang ga pernah gue kencan sama karyawan perusahaan ini ... apa menikahinya keputusan yang tepat? ... apa ini ga terlalu buru-buru?'
"Pak Fahmi!" tiba-tiba suara Bella mengagetkan Fahmi. "Astaga! Bella, kamu bikin kaget aja." Fahmi mengelus dada bidangnya, menghela napas dan mengatur ritme jantungnya. Bagaimana rasanya jika memikirkan seseorang, lalu ternyata orang itu menyembul tiba-tiba?
"Bapak saya panggilin dari tadi, pintu sudah saya ketok-ketok ga ada jawaban. Saya takut Pak Fahmi pingsan di dalam, jadi saya masuk aja. Ternyata Pak Fahmi melamun. Pak Dahlan sudah dari tadi telepon ke line Bapak, tapi belum diangkat." Seperti biasa bibir tipis Isabella bicara sepanjang itu tanpa jeda, seolah dengan satu tarikan napas. Nadanya yang ketus membuat Fahmi semakin gemas, "Bella, sini." Fahmi melambaikan tangannya, memerintahkan gadis itu mendekat.
Isabella tampak ragu-ragu tapi, ia tetap mendekat ke arah meja Fahmi. Saat sampai di samping meja Fahmi, Isabella bertanya, "Ada apa, Pak?"
"Ssssttt!" Fahmi menempelkan telunjuknya ke bibir, memberi isyarat Isabella agar berhenti bicara. Isabella menaikkan alisnya, seakan bertanya-tanya untuk apa? Fahmi terlihat diam saja sembari tersenyum. Isabella masih belum faham apa maksud dari kelakuan absurd bosnya.
"Pak Fahmi, ada ...." belum selesai Isabella dengan kalimatnya, Fahmi memotong lagi, "Ssssttt." Telunjuk Fahmi kemudian mengacung ke depan mukanya, seakan mengisyaratkan Isabella harus menunggu dan diam. Fahmi memperhatikan jarum-jarum keemasan pada Rolex di pergelangan tangan kirinya.
Tak berapa lama, senyum terkembang dari bibirnya, "Nah! Ini sudah jam pulang kantor!" pekik Fahmi sambil berdiri tiba-tiba dari kursinya. Fahmi seperti remaja yang bersorak karena baru saja mendengar bel pulang sekolah. Seketika Isabella yang berdiri di dekatnya terlonjak, melihat ekspresi dan gerakan Fahmi yang tiba-tiba.
"Bapak! Anda mengagetkan saya!" pekik Isabella. Gadis itu memegangi dadanya, ia merasa beruntung jantungnya masih berada di tempatnya. "Apa Bapak berniat balas dendam pada saya?"
Fahmi terkekeh, lalu dia mendaratkan pantatnya ke ujung meja kerja. "Sekarang, Bella, kamu bisa memanggilku Fahmi, tanpa embel-embel 'Pak' di depannya," ujar Fahmi diakhiri dengan senyuman yang menampakkan deretan giginya yang putih.
Isabella tergelak, "Saya kira ada apa." Gadis itu menggeleng sambil tertawa kecil. Fahmi tak mau melewatkan tawa Isabella, dipandangnya wajah gadis itu lekat-lekat. Namun, tiba-tiba perkataan Tsabit melintas di benaknya, 'Lu ngeliatin dia, ngeliatin fotonya. Gak puas sekali pandang. Itu udah zina mata.'
Fahmi segera beristigfar, menyadari kekeliruannya. Fahmi merasa semakin dia berlama-lama menatap Isabella, semakin bertambah dosanya. Keputusan Fahmi sudah bulat, dia harus meminang Isabella. Mengubah apa yang haram, menjadi halal bagi mereka berdua.
"Jadi ... Bella, mau pulang bersama sekarang? Aku ada sesuatu yang mau kubicarakan denganmu." Fahmi merasa dia harus membicarakan rencananya dulu kepada Isabella, takut kalau gadis itu tidak siap, dan menolaknya.
"Mmm, maaf, Pak. Tadi pagi bapak saya berpesan, kalau saya akan dijemput," ujar Isabella dengan raut penyesalan.
Fahmi memahami apa yang dilakukan Pak Malik, wajar jika dia menghindarkan Isabella untuk dekat dengan laki-laki, termasuk dirinya. "Bolehkah aku minta nomer telepon Bapak kamu?" Bella mengangguk, lalu mengambil ponsel dalam saku blazernya. Bella mengirimkan informasi kontak Pak Malik melalui aplikasi percakapan kepada Fahmi. "Sudah, Pak?" Isabella menanyakan apa pesannya sudah diterima oleh Fahmi.
Fahmi mengetuk-ngetukkan jarinya ke layar ponselnya, lalu mengangguk. "Sudah. Terima kasih ...," ucap Fahmi, lalu dia meneruskan, "Bella, bukankah tadi kubilang ini sudah jam pulang kantor? Jadi kamu ga perlu bicara formal denganku."
Isabella masih merasa canggung, ada ketakutan tersendiri saat ia mencoba meruntuhkan dinding formalitas. Membuat sosok Fahmi terasa semakin dekat dengannya. Tak bisa Bella pungkiri, ada perasaan baru yang hinggap di hatinya. Setiap malam wajah Fahmi selalu hadir mengganggu, untung saja tidak sampai terbawa mimpi. Padahal Isabella tak ingin terlalu dekat dengan bosnya. Isabella tak ingin membuat lingkungan kerjanya menjadi tidak profesional.
Namun, hati adalah salah satu organ yang tak bisa diperintah oleh otak. Mau saja dia terpedaya dengan pesona Fahmi. Apalagi Fahmi yang terlihat lebih agamis.
Isabella sering kebetulan bertemu dengannya saat pulang dari kajian. Rupanya Fahmi juga mengikuti kajian yang sama dengannya. Tampan, alim, sukses, apa yang kurang dari diri Fahmi? Isabella menggeleng, lalu mengucap istigfar dalam hati.
"Ini masih di lingkungan kantor, saya rasa kurang sopan kalau tidak bicara formal," jawab Isabella dengan alasan yang dia pikir bisa Fahmi terima. Tanpa Isabella sadari, Fahmi mencoba membaca apa yang Isabella pikirkan.
Saat Fahmi mendekatinya selangkah, Isabella akan menjauh selangkah. Satu-satunya cara agar Isabella tak bisa menjauh adalah, dengan mengikatnya.
"Sampaikan kepada bapak kamu, hari Minggu aku akan menemuinya," ujar Fahmi. Isabella tampak bingung mencerna kalimat Fahmi, bukankah dia sudah mengirimkan nomer telepon bapaknya? Kenapa Fahmi menitipkan pesan kepadanya? Apa tidak lebih praktis langsung saja bicara dengan bapaknya di telepon?
Beberapa detik kemudian Isabella terperenyak, bukan hanya bapaknya yang mendapatkan pesan itu, tapi dia juga. Justru Isabella merasa yang harus bersiap-siap adalah dirinya. Apa yang akan dilakukan Fahmi hari minggu nanti?
*****
Bu Salma merasa sedikit kecewa, sore itu Isabella tidak datang lagi untuk belajar tilawah. Namun ketika melihat wajah Fahmi yang berseri-seri, Bu Salma melupakan sejenak kekecewaannya. "Sepertinya ada hal bagus yang terjadi, wajah kamu seperti habis memenangkan tender besar," ujar Bu Salma kepada putranya yang baru pulang.
"Belum menang, Ma. Perangnya masih hari Minggu nanti." Fahmi mencium telapak tangan mamanya lalu menghempaskan tubuhnya ke sofa.
"Perang apa?" tanya Bu Salma penasaran.
Fahmi melepas jasnya, lalu melonggarkan ikatan dasinya, "Ma, bagaimana menurut Mama, kalau Fahmi mau menikahi Bella?"
Netra Bu Salma membulat, "Kamu yakin?"
Fahmi mengernyit, "Mama ga setuju?"
"Lho, kok malah nanya Mama, yang mau nikah, kan kamu?"
"Tapi wajah Mama kaya ga setuju kalau Fahmi mau nikahi Bella?"
"Emang mama pernah bilang kalau mama keberatan?"
"Jadi Mama setuju?" Fahmi tersenyum menampakkan deretan gigi-giginya. Bu Salma mengangguk. "Alhamdulillaah," ucap Fahmi seketika, "Hari Minggu nanti, tolong mintakan Bella untuk Fahmi, Ma."
Bersambung ....
__________________🌹🌹🌹_______________
KAMU SEDANG MEMBACA
Faith and Love ✔️ Telah Terbit
Ficção GeralKisah seorang sekretaris lugu dan atasan yang hobi 'bermain' dengan para wanita. Keduanya menjemput hidayah pada waktu yang bersamaan. Pada akhirnya mereka saling jatuh cinta setelah mengalami berbagai konflik. Persiapan pernikahan pun dilakukan set...