#ramenuku03nomor10
#HijrahSOS
Kolaborasi dengan Isdamaya Seka
Part 23. Panggilan SOSMenurut hasil USG, usia kehamilan Nessa sudah menginjak enam minggu. Sedangkan syarat agar bisa diambil darahnya untuk dites, janin harus berusia minimal sebelas minggu. Lalu akan ada tes ke-dua saat janin berusia enam belas minggu. Nessa agak sedikit lega mengetahui kabar itu, setidaknya dia mempunyai waktu untuk melancarkan rencananya.
Fahmi bukan orang yang gegabah. Dia menanyakan detail kepada dokter apa ada kemungkinan tes DNA bisa salah, atau disabotase hasilnya oleh orang lain? Berjaga-jaga untuk kemungkinan terburuk, tidak ada salahnya bukan? Dokter menjelaskan kalau tes akan dijamin kerahasiaannya dan mereka memakai teknologi terbaru, diawasi oleh ahli di Inggris.
"Apakah usia enam minggu itu usia yang pasti? Apa ada kemungkinan salah hitung?"
"Tes ini berdasarkan ilmu yang kami pelajari di dunia medis, kalau usia pastinya hanya Allah yang paham," ujar dokter di hadapan Fahmi.
"Baik, terima kasih, Dokter." Fahmi kemudian undur diri.
*****
Fahmi mulai menghitung dan mencocokkan tanggal terakhir kali mereka bertemu. Delapan minggu, sudah delapan minggu Fahmi tidak bertemu dengan Nessa. Hatinya semakin mantap kalau anak di rahim Nessa bukanlah anaknya.
Fahmi memerintahkan Nessa untuk mengikutinya ke mobil. Ada beberapa rencana yang terpikirkan oleh Fahmi, yang pasti dia tidak akan pernah tunduk dengan kemauan Nessa."Aku akan keluar dari perusahaan daddy kamu," ujar Fahmi. Sedikit banyak Fahmi sudah memahami bahwa semua hal telah ditulis oleh Allah di Lauhul Mahfudz. Yang dia lakukan saat ini hanya berusaha menjalani takdir ini sesuai dengan petunjuk-Nya. Fahmi telah melakukan salat Istikharah tadi malam. Memang tidak ada mimpi ataupun firasat tertentu, tapi hatinya terasa mantap untuk keluar dari perusahaan milik orang tua Nessa.
Mungkin dengan menentang orang tua Nessa akan menghancurkan karir yang dia bangun, tapi menikahi Nessa akan menimbulkan mudharat yang lebih besar. Fahmi mengerti bahwa dia harus menikahi wanita yang baik. Wanita calon ibu dari anak-anaknya. Bagaimana mungkin dia bisa memberikan seorang ibu pembohong.
Kalaupun harus pindah ke negara lain, yang tak tersentuh oleh kekuasaan orang tua Nessa, Fahmi siap. Karena itu adalah salah satu ikhtiar yang juga dia rencanakan, selain menjalani tes DNA.
Nessa membelalakkan netranya, "Apa kau yakin bisa melawan Daddy?"
"Iya." Fahmi memang tidak yakin bisa menghindar dari kekuasaan orang tua Nessa, tapi dia yakin keputusan yang diambilnya sangat tepat, dan Allah akan meridainya.
"Tesnya masih sekitar lima minggu lagi. Aku yakin kalau dia bukan anakku ... meskipun dia anakku, aku tetap tak bisa menikah denganmu."
"Kau! Apa kau tidak malu mengatakan hal itu?" Nessa tidak bisa mencerna apa yang dipikirkan Fahmi. Pria di sampingnya seakan tidak peduli lagi dengan nama baik ataupun harga diri.
"Tidak ada hukum yang mengikat ayah biologis harus menikah dengan ibu dari si anak. Soal biaya hidup, aku bisa memenuhinya kalau kau mau menuntut biaya. Tapi kuyakin kau tak butuh, bukankah kamu yang lebih kaya?" tukas Fahmi dengan nada sarkas.
Nessa menatap Fahmi tanpa berkedip. Fahmi kemudian membuka pintu mobilnya, berjalan memutar untuk membukakan pintu di samping Nessa, "Keluarlah, pembicaraan kita sudah selesai." Nessa menatap Fahmi, seakan tak percaya apa yang telah terjadi.
"Kita akan menikah! Ingat itu!" Itulah kata-kata terakhir Nessa. Fahmi tak menghiraukannya, pandangannya fokus ke jalanan, meninggalkan Nessa yang berteriak meminta perhatian.
*****
Isabella mengedarkan netranya mencari sosok wanita yang menghubunginya semalam. Seorang pelayan resto menghampiri dan menanyakan namanya. Kemudian pelayan itu mengantarkan Isabella ke suatu ruangan yang lebih privasi.
Isabella terperanjat sesaat, netranya menangkap seorang wanita yang duduk tenang di hadapan meja. Meskipun meja di hadapannya sudah tertata berbagai hidangan yang terlihat menggugah selera, perhatian Isabella terampas oleh wanita itu. Nessa, namanya masih diingat Isabella. Wanita yang datang kemarin ke kantor Fahmi.
Isabella merasa harus membentengi diri. Hatinya mulai gusar, firasatnya mengatakan, wanita itu membawa kabar buruk yang akan dia terima.
"Hai, Isabella bukan?" tanya Nessa dengan seulas senyum. Hanya senyum formalitas.
"Benar," jawab Isabella sambil tersenyum tapi wajahnya terlihat kaku.
"Duduklah." Nessa menunjuk bangku di hadapan Isabella dengan isyarat matanya. Isabella segera menarik sebuah bangku terdekat dari tempatnya berdiri.
"Namaku Nessa ...." Isabella mengangguk saja untuk meresponnya. Suasana kaku dan waspada telah tercipta semenjak Isabella menyadari bahwa Nessa mempunyai suatu hubungan dengan Fahmi.
Nessa meneguk salivanya sebelum meneruskan kalimatnya, "Aku mengandung anak Fahmi."
Isabella menahan napasnya, terperenyak beberapa detik. Jemarinya mulai meraba telapak tangannya, lalu dia mencubitnya. 'Sakit ... ini nyata!' batin Isabella. 'Dia tak mungkin bercanda, bukan?'
"Kau bisa melepas Fahmi untukku 'kan? Bayi ini butuh seorang ayah." Nessa menggigit bibir bawahnya. Dia sudah melatih dirinya demi hari ini, menitikkan air mata di hadapan tunangan Fahmi, agar gadis itu luluh dan melepaskan Fahmi.
Sukses, air mata Nessa menganak sungai. Isabella merasa dadanya diremas, 'Inikah berita buruk itu?'
"Aku mohon padamu, kamu juga perempuan sama sepertiku, kau tak mungkin tega membuat bayi ini tak punya ayah, bukan?" rengek Nessa.
Isabella merasakan dadanya semakin bergemuruh, dan tubuhnya bergetar.
"Kami harus menikah, Daddy sudah mendapatkan restu dari orang tua Fahmi."
'Cukup!' Isabella tak mampu mendengar lagi. Lidahnya terasa kelu, tak ada sepatah kata pun yang sanggup keluar dari bibirnya. Pandangan Isabella mengabur terselimuti cairan bening, memandang wajah Nessa dan turun ke perutnya. Isabella segera berdiri dan meninggalkan Nessa dengan setengah berlari.
*****
Isabella berlari ke arah jalan raya sambil menyeka air matanya. Beruntung ada beberapa taksi yang berjajar di pinggir jalan. Isabella segera masuk ke salah satunya. Supir taksi yang ditumpangi Isabella segera menanyakan tujuan gadis itu. Dengan terisak Isabella menjawab, "Tolong jalan dulu, Pak."
Sesekali sopir melirik ke arah cermin spion tengah, menatap iba gadis berkerudung cokelat. Membiarkan gadis itu meneruskan tangisnya. Terkadang taksi yang dikendarainya harus menerima teriakan klakson karena pengemudi mobil di belakangnya merasa taksinya terlalu lambat.
Isabella segera menyadari kalau dia sudah menyusahkan si sopir. Isabella mengambil botol air minum di tasnya. Dengan beberapa tegukan, dia berhasil meredam tangisnya. Isabella lalu memberi tahukan kepada sopir alamat rumahnya.
Isabella mengeluarkan ponselnya. Menyentuh dan menggulirkan layarnya, mencari kontak Nada.
"Hallo, assalamu'alaikum," sapa Nada. Mendengar suara Nada membuat Isabella merasa ingin menumpahkan kesedihannya, isakan kembali terdengar, dan linangan air mata kembali mengalir.
"Nad, tolong aku, hiks hiks." Isabella tak sanggup menceritakan apa yang terjadi. Dadanya terlalu sesak, suaranya tercekat. Tak ada kata yang terucap dari bibir Isabella, hanya isakan yang mampu ditangkap pendengaran Nada.
Nada mencoba memahami keadaan Isabella, menarik napas lalu berkata, "Aku ada di rumah."
Isabella mengangguk, dia lupa bahwa Nada tak mungkin bisa melihat anggukannya. "Aku ke rumahmu," ujar Isabella sebelum mengucap salam, memutus pembicaraan mereka.
*****
Fahmi mencari sosok Isabella yang tak ada di tempat biasanya. Gadis itu tak pernah terlambat sekali pun. Fahmi segera mengambil ponselnya dan menekan icon berwarna hijau pada kontak Isabella.
Kekecewaan tergambar jelas saat hanya ada suara operator sejuta umat yang menjawabnya, mengatakan kalau nomor yang dia tuju tidak aktif. Dia segera memutuskan panggilannya. Fahmi menunggu sampai jam makan siang, mungkin gadis itu akan menghubunginya, meskipun hati kecilnya mulai merasa debaran yang aneh. Apa yang terjadi dengan Isabella?
Bersambung ....
__________________🌹🌹🌹________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Faith and Love ✔️ Telah Terbit
Narrativa generaleKisah seorang sekretaris lugu dan atasan yang hobi 'bermain' dengan para wanita. Keduanya menjemput hidayah pada waktu yang bersamaan. Pada akhirnya mereka saling jatuh cinta setelah mengalami berbagai konflik. Persiapan pernikahan pun dilakukan set...