Part 5 (What's Wrong with Secretary Isabella?)

511 31 0
                                    

#ramenuku03nomor10
#HijrahSOS
Karya: Isdamaya Seka  dan Faridah Wardah
Part 5. What's Wrong With Secretary Isabella?

Nama adalah do'a. Salah satu hak anak sewaktu dia dilahirkan ke dunia adalah mendapatkan nama dari orang tuanya.

"What's in a name? That which we call a rose. By any other name would smell as sweet." Sebuah rangkaian kalimat masyhur karya Shakespeare yang kerap kali diduplikasi para pujangga di dalam karya mereka. Seakan-akan menafikan eksistensi dan peran penting nama dalam takdir manusia.

Berbeda dengan ajaran Islam. Nama mempunyai peranan penting dalam kehidupan seorang muslim. Bahkan kehidupan setelah mati.

“Baguskan namamu, karena dengan nama itu kamu akan dipanggil pada hari kiamat nanti,” kata Rasulullah. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Hiban)

__________________________________________

Jemari lentik Isabella tengah memilih sebuah katalog.

"Mmmm, ini deh mba. Cocok ga ya buat face aku?" tanya Isabella kepada seorang kapster di belakangnya.

"Cocok banget, Kak. Kakak kan cantik, kulitnya bersih, pakai warna apapun masuk aja menurutku."

"Ok deh, Mbak. Pakai yang ini aja." Kapster itu segera mengambil beberapa peralatan tempurnya dan memainkan tangan luwesnya ke rambut Isabella.

Setelah menemani Fahmi menemui klien, ternyata Isabella boleh langsung pulang, tanpa kembali ke kantor dulu sampai jam kerjanya habis. Waktu luang yang sayang untuk dilewatkan. Lembayung senja masih belum nampak, Isabella melangkahkan kakinya ke sebuah pusat perbelanjaan, dan berakhir di kursi sebuah salon kecantikan. Ia melakukan smoothing agar rambutnya lebih lemas dan jatuh, juga mewarnainya menjadi coklat terang. Biar secantik artis Korea kesukaannya.

Betapa terkejutnya Malik saat pulang ke rumah, selepas seharian bekerja, dia mendapati anak semata wayangnya mengubah warna rambut. Wajah Isabella memang cocok dengan penampilan trendy. Warna rambut coklat terang membuat wajahnya semakin cantik.

"Bella, Nak. Bapak bukannya mengejek penampilan kamu jadi seperti brandal di pinggir jalan yang suka mencat rambutnya. Kamu cantik, cocok dengan warna rambut apapun, Bapak akui itu. Tapi, Nak, justru karena kamu cantik, Bapak jadi khawatir. Bapak tidak bisa menjaga kamu setiap waktu, bagaimana kalau ada orang jahat yang tertarik karena kecantikan kamu?"

"Bapaak, banyak yang sekarang rambutnya dicat warna-warni. Apalagi kalau Bella pergi ke mall, anak kecil juga diwarnai rambutnya sama dengan mamanya. Bahkan sekarang laki-laki juga ga kalah kerennya. Mereka mencat rambutnya jadi warna-warni. Bella cuma sewarna aja kok." Bella mencoba membujuk Bapaknya.

"Bella, mereka suka mewarnai rambutnya itu hak mereka, tapi kamu masih tanggung jawab Bapak ... andai ibumu masih ada, dia mungkin sekarang juga menyuruh kamu mencat rambutmu jadi hitam kembali."

Isabella terdiam, enggan memotong kalimat Bapaknya. Jika berbicara tentang ibunya, entah kenapa ekspresi Malik jadi terlihat muram. Bella tentu sedih, tapi serasa tak sebanding dengan yang dirasakan Malik.

Andai waktu dapat diputar kembali (sayangnya tidak), tentu Malik akan menamakan putrinya dengan nama Qanita yang berarti taat beribadah. Atau Alifha yang artinya penurut. Sehingga dia tidak akan kebingungan mencari cara agar Isabella mau mematuhi perintahnya. Bukan nama Isabella, yang dia tidak tahu apa artinya. Hanya karena mengidolakan lagu-lagu rock jaman masih mudanya dulu. Nama Isabella membekas di benaknya. Nama itu merupakan kenangannya. Lagu Isabella dari salah satu band dari negeri jiran diputar di radio saat bertemu dengan istrinya pertama kali.

Manusia melalui berbagai fase dalam hidupnya. Fase anak-anak, fase remaja, fase dewasa, fase senja. Di waktu senja, manusia mulai merasakan bahwa umur mereka tak akan lama lagi. Saatnya mengintrospeksi diri. Melihat ke dalam dirinya dan keluarganya. Apakah dia sudah siap membawa bekal yang cukup untuk akhirat kelak? Apakah keluarga yang ditinggalkannya akan menjadi hamba yang taat?

"Bapak sudah tua, Nak. Bapak tidak tahu kapan Bapak menyusul ibumu."

Isabella terhenyak, "Bapaak, jangan ngomong gitu," rengek Isabella.

"Bapak mohon, Bella nurut Bapak, ya? Bapak benar-benar kuatir. Apa kamu sayang uangnya? Bapak ganti aja uang ke salon tadi, bagaimana?"

Isabella menggeleng, "Bukan begitu, Paak. Bella cuma kepengen kaya artis Korea, coba pakai warna rambut terang."

"Atau ...," Malik menjeda kalimatnya, "Kamu pakai jilbab saja, Bapak merasa lebih tenang kalau kamu pakai jilbab. Kamu juga bisa menutup warna rambutmu."

"Yaah Bapak, justru mewarnai rambut itu agar bisa terlihat cantik. Kok malah ditutup?"

"Bella, jilbab itu wajib buat perempuan."

"Bella tau, Pak. Tapi kan Bella belum siap pakai jilbab."

"Inilah kesalahan Bapak. Bapak merasa gagal jadi orang tua." Malik menggeleng pelan, "Bagaimana Bapak bisa menghadap Allah nanti, kalau anak Bapak masih berbuat maksiat?"

Isabella membelalakkan netranya, "Bapaak, Bella hanya mewarnai rambut, Bella kan ga pernah mencuri? Bahkan nyontek pun Bella ga pernah, Pak. Bella beneran jujur waktu sekolah dulu. Bella beneran belajar sampai jadi rangking kelas." Isabella merasa tidak terima bapaknya berpikir terlalu jauh, meskipun dia mewarnai rambut, bukan berarti dia akan bergaul dengan anak berandalan.

"Kamu tidak faham Bella, maksud Bapak, menutup aurat itu suatu kewajiban, kalau hal yang wajib tidak dikerjakan berarti sudah berbuat maksiat, melanggar perintah Allah."

Isabella terdiam, ia ingin membantah lagi tetapi diurungkannya, bagaimanapun dia masih menghormati bapaknya.

"Bapak takut, seandainya Bapak sudah harus tutup usia, kamu masih belum berjilbab. Dosa kamu jadi dosa Bapak juga. Bapak gagal jadi orang tua. Kamu tahu kalau do'a yang bisa sampai kepada orang yang meninggal itu hanya do'a anaknya?" Isabella mengangguk. "Tapi kalau anaknya  ngga sholih, do'anya tidak diterima."

Netra Isabella menatap wajah teduh Malik, guratan umur, uban yang hampir mendominasi rambutnya, menjadi tanda bahwa bapaknya itu sudah tua. Bahkan tahun depan sudah masanya Malik pensiun. Isabella sudah membaca surat pemberitahuannya bulan lalu. Entah sampai berapa lama lagi dia akan menemani Isabella.

"Tidurlah, ini sudah malam." Malik meninggalkan Isabella yang masih menerawang, memberi kesempatan putrinya untuk berpikir.

*****

Isabella tak seantusias seperti yang dibayangkan sebelumnya. Pagi itu dia terlihat sering melamun, bahkan Satpam yang selalu menyapanya tiap pagi terheran-heran saat sapaannya tak berbalas. Beberapa pria mengagumi penampilan Isabella dengan warna rambut barunya, mereka hendak menjadikan pujian mereka sebagai alat untuk mendekati Isabella. Namun Isabella tak bergeming, dia tenggelam dalam kalut pikirannya. Para pria merasa Isabella seakan membangun tembok yang tak kasatmata.

Sebuah panggilan dari Fahmi memecahkan lamunan Isabella, "Bella, tolong ke ruangan saya."

"Baik, Pak."

Kebalikan dengan Fahmi, biasanya dia tidak tertarik melihat Isabella. Hidupnya selalu dikelilingi wanita cantik, dan mereka sangat percaya diri memamerkan kecantikannya. Tak tanggung-tanggung, segala hal yang branded pun mereka pakai, seakan-akan tas dan aksesoris mahal itu akan mendongkrak kecantikan mereka. Hari ini diakuinya, dia takjub dengan penampilan Isabella. Kata cantik saja seakan kurang untuk memujinya, tapi ... justru kontradiktif-lah yang selalu membuat Fahmi penasaran.

Penampilan baru, cantik, menawan, tapi terasa tidak bahagia.

Ada apa dengan sekretaris Isabella?

Faith and Love ✔️ Telah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang