44 - Jihan : Legally Bound

697 114 50
                                    

Aku tercenung saat ibu memintaku untuk menemuinya melalui pesan singkat. Aku tidak tahu ia sedang berada di kota Ardent. saat kulihat Josi yang sibuk bekerja dengan tim-nya, aku mengerutkan kening. Sikap Josi terlalu tenang, seolah keberadaan ibuku tidak lagi mengganggu hidupnya. Padahal selama ini Josi cukup terang-terangan mengatakan ketidaksukaannya pada ibuku.

Setelah menyelesaikan rapat dengan tim desain, aku segera menemui ibuku di sebuah restoran. Ia tampak lebih tua dari dugaanku. Mungkin karena aku sudah lama tidak bertatap muka dengan ibuku. Enam bulan, tidak, hampir setahun lebih aku lupa bahwa ibuku masih hidup.

"kenapa kamu meninggalkan rumah ayah Josi?" itu pertanyaan pertama ibu setelah kami berdiam hampir setengah jam lamanya.

"aku bukan bagian dari keluarga baru ibu" jawabku dengan tenang.

Kulihat ibu tersenyum remeh menatapku. "tapi kamu bekerja dengan Josi sekarang"

"urusan pekerjaan tidak ada hubungannya dengan urusan keluarga. Josi menerimaku karena aku memenuhi kualifikasi"

Kutatap ibuku yang sudut bibirnya menekuk, sepertinya ibuku ingin sekali mengumpatiku seperti dulu. Saat itu aku memutuskan keluar dari rumah mendiang ayah karena ibu ingin menikah lagi. aku mendengar banyak sumpah serapah daripada doa dari bibir ibuku selama ini.

Ibu mengeluarkan buku tabungan dan kartu kredit. Ia menyodorkannya padaku. Kulihat nominal dalam buku tabungan atas namaku itu. mataku membulat tak percaya.

"kenapa ibu melakukan ini? Apa ayah Josi tahu"

"ibu memberikannya diam-diam padamu karena seharusnya ini hakmu"

"aku tidak bisa menerima ini" kukembalikan tabungan dengan nominal besar itu pada ibu.

"kamu tetap bagian dari keluarga baruku. Kamu punya hak yang sama dengan Josi dan Clara—"

Kupotong kalimat ibu, "—pernah tidak ibu berpikir berada di posisiku? Aku rasa tidak pernah. Ibu tidak pernah merasakan tidak diterima dan tidak dianggap sepertiku"

"aku tetap ibumu"

"justru itulah, aku ingin membencimu sepenuh hatiku" kalimat itu seolah membuatku harus menelan pil pahit.

"kamu tidak boleh membenci ibumu, Jihan"

"siapa bilang? ibu memang yang melahirkanku. Tapi aku sendiri tak pernah bisa memilih lahir dari rahim ibu"

"Jihan!"

"ibu tidak perlu mengingatkanku tentang karma atau dosa. Kita sama-sama tahu bahwa itu sama sekali tidak berarti"

Kulihat rahang ibu mengeras. Aku sendiri mencoba menggenggam ujung rok-ku untuk mempertahankan diriku agar tak menangis. Aku benci terlihat lemah di depan ibuku sendiri.

"aku tinggal di Sunnyville karena ibu mengancamku. Aku masih menuruti ibu karena aku butuh uang saat itu" kuakui dengan jujur alasanku pada ibu. "aku juga tahu ibu ingin aku tinggal di Sunnyville supaya ayah Josi mempertimbangkan namaku dalam daftar warisan keluarga. Tidakkah ibu merasa malu? Kurasa Josi dan Clara mengetahui juga rencana ibu"

"apa salahnya menerima warisan?"

"tentu salah kalau ibu melakukannya karena ibu melakukannya untuk mempertahankan nama baik ibu"tudingku.

"kamu sangat keterlaluan Jihan. Apa ibu pernah mengajarimu—bukan aku yang mengajarimu. Apa pacarmu yang mengajarimu melawan ibu?"

Aku melotot tak senang mendengar ibu mengaitkan seseorang lain di dalam pembicaraan ini.

"kenapa ? kamu tak suka ibu bicara soal pacarmu? Marah? Apa ini mencemarkan nama baiknya? Memangnya dia punya nama baik?"

Kukepalkan tanganku di bawah meja. Aku tak ingin membuat keributan di restoran yang mulai ramai ini.

Romance [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang