30 - Sandra : Blue

346 91 35
                                    


Sejauh apapun aku mencoba untuk menerima kehadiran kehidupan baru dalam diriku, aku tetap teringat pada satu malam yang kelam di masa laluku. Sekuat apapun aku mencoba melupakan kenangan pahit bahwa kami bertiga terbangun dari tidur di sebuah panti asuhan, aku tetap tidak bisa melupakan tangis Dina dan Mozza hari itu yang mencari pelukan hangat dari orang yang telah membuang kami. Bahkan saat kami bertiga sudah memiliki rumah sendiri seperti saat ini, aku tidak pernah lupa bagaimana mereka yang menganggap dirinya orang tua tega membuang kami begitu saja tanpa penjelasan.

Aku tak ingin munafik mengatakan bahwa aku tak menginginkan keluarga yang utuh. Aku bisa lakukan apa saja demi calon anakku. Tapi soal menikah, itu beda lagi. ini bukan soal popularitasku sebagai aktris. Aku sudah tak peduli soal itu sejak dokter mengatakan bahwa aku akan punya tanggung jawab besar setelah Sembilan bulan kedepan.

Ini juga bukan siap atau tidak siap tentang konsekuensi yang harus kuambil setelah dinyatakan memiliki dua nyawa dalam satu tubuh.

Bagiku menikah tidak akan menyelesaikan masalahku saat ini. Aku tahu Hilmi sudah bersedia bertanggung jawab. Aku sendiri yang tak menginginkan pernikahan ini. Aku merasa diriku tidak akan pernah siap menjadi seorang istri yang baik.

Dengan temperamen Hilmi yang cepat tersulut, aku pasti kewalahan jika harus berurusan dengannya setiap hari. Aku yakin Hilmi sedang berusaha menjaga dirinya agar tak lagi cepat marah ataupun terpancing emosi. Tapi seingatku, sifat yang sudah terasah sejak usia dini akan sulit diubah begitu saja.

"kak Sandra—"

Panggilan Mozza membuatku menoleh. Aku tersadar dari lamunanku. Kulihat adikku berdiri di ambang pintu ruang ganti pengantin.

"hm, ada apa Mozza?"

Mozza melirik sekilas di balik pintu. "Yugi ingin bertemu sebelum kakak naik altar"

Aku merasa lega saat mendengar nama sahabatku disebut saat ini. Aku memang butuh seseorang untuk mendengarkanku.

"biarkan kami bicara berdua, Mozza" pintaku sambil tersenyum pada Yugi.

"kak—" Mozza memegang gagang pintu. "—aku percaya pada kak Sandra. Aku hanya ingin kak Sandra bahagia".

Yugi dan aku memerhatikan dalam diam saat Mozza menutup pintu.

"aku kemari karena merasa terganggu dengan pesan yang kamu kirim semalam, Sandra. Apa yang kamu inginkan sekarang?"

"sesuai permintaanku di pesanmu, bawa aku kabur sekarang, Yugi" ucapku.

"kamu tahu, Hilmi akan membunuhku kalau dia tahu kekasihnya kabur dengan teman dekatnya" Yugi menghela nafas berat. "kulihat Hilmi tampak tersenyum di ruang tunggunya. Ia sepertinya sudah siap untuk mendampingimu"

"kamu teman kami berdua. Apa kamu masih belum bisa membedakan mana senyum tulus Hilmi dan mana yang bohong?"

"apa maksudmu, Sandra?"

Mata Yugi menuntut penjelasan dariku. aku langsung teringat saat dokter menyatakan pada Hilmi ia akan menjadi seorang ayah. Kulihat Hilmi duduk termenung di lobi rumah sakit. dari jauh, aku bisa melihat bahwa kedua tangan Hilmi terkepal gemetaran.

"kenapa kamu tak bicarakan berdua dengan Hilmi?"

"Hilmi tak mendengarkanku. Dia hanya merasa bersalah padaku. Aku tak suka dikasihani, Yugi. Bayi ini bukan kesalahan. Aku menginginkannya diterima dengan pelukan, bukan hanya sekedar kewajiban dari Hilmi"

"Hidup Hilmi sebelum ini sama sepertimu, Sandra. Tidakkah kamu kasihan padanya?"

"aku lebih kasihan mengingat anakku nantinya akan melihat orang tuanya mengirimnya ke panti asuhan"

Romance [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang