Jam dinding dalam kamarnya sudah menunjukkan pukul sebelas malam saat Vey selesai mengganti pakaiannya yang basah. Tubuhnya masih terasa lemas sekali, ditambah kakinya juga belum sembuh total.
Vey melepas asal perban yang melekat di kakinya karena merasa benda itu sudah tidak jelas bentuknya setelah kejadian beberapa jam yang lalu. Dia juga baru sadar setelah sampai di rumah kalau kruknya tertinggal di rumah Aidan. Untungnya masih ada kruk cadangan yang Vey simpan di sudut kamar.
Vey berbaring di atas tempat tidur lalu menghela napas berat. Hari ini terasa sangat berat dan banyak sekali hal buruk yang terjadi. Lelah sekali dia, sampai-sampai memilih untuk langsung menjawab pesan-pesan Calvin yang bertumpuk masuk ke ponselnya dengan permintaan izin untuk pergi tidur lebih awal. Untungnya Calvin tidak banyak bertanya.
Kepalanya pusing saat memikirkan apa yang akan terjadi nanti ketika Vey sudah bisa masuk sekolah. Setelah segala kejadian buruk yang telah terjadi hari ini, setelah sikap Aidan yang sangat aneh dan mungkin saja membuat orang-orang yang tidak menyukai Vey semakin membencinya.
Ponselnya berdering di genggaman tangannya. Vey lagi-lagi dikagetkan dengan nama Aidan yang tertera di layar ponsel. Apa lagi yang ingin cowok itu bicarakan malam-malam begini? Menyuap Vey dengan hal apapun supaya Vey tutup mulut dengan kejadian yang tadi terjadi di rumahnya agar tidak menimbulkan lebih banyak masalah untuk cowok itu?
Vey baru saja menerima panggilan dan menempelkan ponsel di telinga saat suara Aidan langsung terdengar. "Tongkat jalan lo ketinggalan di rumah gue," ujarnya.
Tongkat jalan?
Vey menghela napas pelan setelah menyadari apa maksud Aidan. "Benda itu namanya kruk."
"Hm, gue nggak mau tahu lo sebut benda itu dengan sebutan apa."
"Iya, gue tahu kruk gue ketinggalan."
"Terus?"
Vey menatap kruk cadangan yang berada di dekatnya. "Lupain aja. Boleh lo buang kalau ternyata nyampah di rumah lo."
Terdengar decakan dari seberang telepon. "Cara ngomong lo nyebelin, ya, Vey? Gue ini baru aja menyelamatkan lo."
Mata Vey tiba-tiba mendapati sebuah jaket navy yang asing di sudut tempat tidur. Sedetik kemudian dia baru teringat kalau itu adalah jaket Aidan yang cowok itu pinjamkan padanya dan Vey lupa meletakkannya di tumpukan pakaian kotor.
"Gue nggak tahu gue harus berterima kasih atau malah marah sama lo, Dan," aku Vey.
Aidan pasti mengerutkan keningnya. "Kenapa lo harus marah?"
Ketika mengatakan ini, emosi Vey naik begitu saja. "Kalau dari awal lo emang ingin bantu gue, seharusnya lo nggak ngebiarin gue sendirian di tengah-tengah kepungan mereka."
"Gue nggak tahu mereka akan separah itu." Tentu saja Aidan akan membalas seperti ini.
"Tapi lo tahu mereka mau nyakitin gue."
Cowok itu diam selama sepuluh detik. "Sekarang lo malah nyalahin gue setelah gue berusaha baik ke lo? Gue tanya ke lo sekarang, siapa yang tiba-tiba dateng ke rumah gue? Lo, Vey! Jadi, dimana letak kesalahan gue?"
Pada saat seperti ini, Vey bahkan tidak bisa membedakan maksud baik dan buruk seseorang kepadanya. Tapi jelas-jelas ini bukan salah Vey kalau dia tidak terlalu percaya kalau Aidan benar-benar berusaha berkelakuan baik dengan tulus beberapa jam yang lalu.
"Gue nggak peduli sama mind set permanen lo tentang gue, tentang seberapa buruknya gue. Dan seperti yang lo bilang, gue bakal langsung buang tongkat jalan lo yang nggak ada gunanya itu."

KAMU SEDANG MEMBACA
The Gloomy Girl (E-book)
Teen FictionTelah diterbitkan oleh Elex Media dalam bentuk E-book. *** Suatu senyuman dianggap sangat penting bagi sebagian orang. Berbeda dengan orang lain, sebuah senyum adalah bencana dalam hidup Vey. Verina, atau yang akrab disapa Vey tidak pernah tersenyum...