#24 harapan

557 65 8
                                    

"Vey, Papa mau bicara sama kamu."

Suara tegas itu membuat Vey menoleh melihat Aryo yang tengah duduk di sofa ruang keluarga bersama Nora. Vey baru saja pulang sekolah dan ingin segera masuk ke kamar, tapi Papa tirinya itu lebih dulu memanggilnya.

Vey menghampiri mereka lalu mencium tangan keduanya. "Papa sama Mama tumben udah ada di rumah jam segini."

Aryo mengedikkan bahu lalu berdeham. "Kamu mau berobat?"

"Aku nggak sakit," jawab Vey seadanya.

Aryo menghela napas pelan sebelum menoleh pada Nora yang langsung mengangguk meyakinkan. "We're talking 'bout your syndrome, Vey."

"Oh?" Vey menggaruk tengkuk yang tidak gatal. "Maaf, aku nggak biasa membicarakan tentang ini. Lagipula, hal ini udah nggak pernah aku bahas lagi sama Mama."

"Kali ini kita bahas ini secara serius, oke?" Aryo berdeham. "Kamu belum jawab pertanyaan Papa, kamu mau berobat?"

"Kenapa tiba-tiba?"

Aryo tersenyum hangat. "I just want to see you smile. Everybody does. Kamu pastinya juga ingin. Jadi, kenapa nggak?"

Vey membalas senyum itu dalam hati. "But it's medically unnecessary, Pa. Nggak perlu lah. Hal itu udah bukan masalah besar buat aku."

Aryo masih berusaha meyakinkan Vey untuk menyetujui ucapannya. "Let's just go see the doctor, shall we? Lihat nanti saran apa yang dokter akan berikan, oke?"

Tidak ingin membuat urusan ini menjadi lebih panjang, Vey memilih untuk mengangguk saja. Setelahnya, dia meminta izin untuk pergi ke kamar untuk mandi dan beristirahat. Aryo mengizinkannya setelah memastikan Vey tahu kalau mereka akan pergi ke dokter lusa nanti.

Setelah menutup pintu, Vey membaringkan tubuh di tempat tidur. Mau bagaimanapun, meskipun kaget karena berita tiba-tiba itu, sebagian besar bagian dalam dirinya merasa senang sekali mengetahui Aryo akan mengurus segala pengobatannya.

Sejak mulai mengerti alasan kenapa orang-orang tidak ingin berteman dengannya—waktu itu Vey tengah bersekolah di taman kanak-kanak dekat rumahnya yang dulu—harapan itu selalu ada. Setiap malam sebelum pergi tidur, Vey selalu berharap kalau suatu saat dia bisa tersenyum. Meski nyatanya suatu saat itu tidak pernah ada sampai sekarang.

Vey yang masih kecil itu berpikir untuk memberikan apa saja dalam hidupnya agar dia bisa tersenyum. Dia merengek kepada Mama dan Almarhum Papa untuk mengobati penyakitnya. Mereka beberapa kali pergi ke dokter, tapi tentu saja pada saat itu Vey tidak mengerti apa yang sedang orangtua dan dokternya bicarakan. Yang Vey tahu, sedikit sekali kasus kelainan sepertinya di dunia ini dan dia belum tahu sampai sekarang bahwa ada semacam operasi yang akan bisa mengobatinya.

Apakah ada? Di Indonesia? batinnya mengingatkan diri sendiri untuk tidak berharap terlalu tinggi.

Tapi seiring berjalannya waktu, karena nyatanya orangtuanya belum juga berhasil menyembuhkan kelainan itu, harapan itu semakin berkurang. Vey mulai bisa menerima keadaannya dan membiasakan untuk hidup seorang diri di antara teman-teman lain yang bergerombol.

Waktu masih duduk di bangku Sekolah Dasar, ejekan-ejekan sering sekali Vey terima. Ejekan itu semakin menyakitkan setiap hari, sepanjang pertumbuhannya. Dulu, Vey sering sekali menangis. Tapi lama-kelamaan batinnya jadi terlatih untuk menerima perlakuan-perlakuan itu dengan lapang dada.

×

Vey masuk ke restoran seafood yang waktu itu pernah dia datangi dengan Calvin seorang diri. Perutnya tidak lapar karena sudah makan malam, tapi mulutnya ingin saja makan sesuatu. Kebetulan Jessica setuju untuk makan bersama Vey di tempat ini karena cewek itu memang belum pulang ke rumah dan makan malam. Tapi Jessica bilang, dia baru akan sampai sekitar lima belas menit lagi.

The Gloomy Girl (E-book)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang