#48 jus jambu

392 40 5
                                    

Vey menghela napas saat akhirnya menginjakkan kaki di gerbang sekolah. Sejak kemarin, Aidan tampaknya senang sekali mengganggunya. Pagi ini, sebelum Aidan sempat sampai di rumahnya untuk menjemput, Vey sudah bergegas pergi lebih dulu.

Bukannya tidak suka dengan keberadaan Aidan di sekitarnya, Vey hanya tidak terbiasa memiliki detak jantung yang begitu cepat setiap berada di dekat cowok itu. Rasanya Begitu mendebarkan.

"Vey! Kok lo berangkat duluan?!" teriak sebuah suara dari arah belakangnya saat Vey berjalan di koridor.

Sial.

Sontak, Vey mempercepat langkah. Yakin seratus persen kalau suara itu milik Aidan. Baru mendengar Aidan meneriaki namanya saja jantungnya sudah memulai konser tunggal.

"Hey, hey, lo kenapa sih?" tanya Aidan dengan kekehan geli ketika langkahnya mulai sama dengan Vey.

"Dan, jangan deket-deket sama gue terus dong," ujar Vey kesal. "Gue 'kan risih."

"Masa sih lo risih deket-deket sama orang yang lo suka?"

Vey refleks berhenti melangkah dan langsung memukul keras lengan Aidan. "Dan! Lo masih pagi udah nyebelin aja, heran gue."

Ketika Vey melangkah lagi, Aidan dengan mudah mengimbangi langkahnya. Lalu cowok itu kembali bersuara, "Lo belum jawab permintaan gue semalam lho, Verina."

Vey sedikit menundukkan kepala, ingin menyembunyikan wajahnya yang pastinya sudah merona mendengar ucapan Aidan yang kelewat santai itu. "Yang mana? Nggak inget," tanya Vey, berpura-pura tidak mengerti apa yang sedang Aidan bicarakan.

"Mau jadi pacar gue, nggak?"

"Aidan!" seru Vey sambil berusaha membekap mulut Aidan yang lama-kelamaan sepertinya bisa membuatnya terkena hipertensi. Yang benar saja? Cowok itu berteriak menyebut kata 'pacar' di depan Vey di tengah-tengah koridor? Ini mimpi buruk!

Aidan tidak bereaksi apapun. Malah tampak menikmati kekesalan Vey. Saking kesalnya, Vey bahkan tidak sadar kalau Aidan pasti sebenarnya hanya ingin saja mempermalukannya di depan umum begini. Seperti yang sudah bisa Vey tebak, siapapun yang melewati keduanya, pasti menatap mereka dengan pandangan penasaran.

Vey refleks menjauhkan tangan dari wajah Aidan. Tiba-tiba merasa seperti orang bodoh.

"Kalau waktu sekali lagi gue tanya lo masih juga nggak jawab, gue anggap jawabannya 'ya', oke?" ujar Aidan. "Atau setelah gue pikir-pikir, nembak lo di depan umum asik kali, ya?"

"Dan, nggak lucu!" Vey mendorong tubuh Aidan pelan sebelum kembali melangkah.

Setelah akhirnya sampai di kelas, Vey baru teringat kalau kursi di sampingnya sudah tidak berpenghuni dan beberapa hari terakhir Aidan lah yang mengklaim tempat itu menjadi miliknya.

Huh, apalagi ini?

Aidan benar-benar duduk di sebelahnya lalu mengatakan, "Please be mine, Verina."

Vey menatapnya. Kali ini, berbeda dengan beberapa menit yang lalu, ekspresi Aidan begitu serius. Ketika mengingat ancaman Aidan di koridor tadi, entah Aidan serius atau tidak akan ancamannya, Vey merasa mau tidak mau dia harus membalas pernyataan itu. Tapi tidak ada pemikiran lain di kepala Vey selain, "Gue nggak bisa."

Aidan terdiam, tidak bereaksi selama beberapa saat. "Kenapa?" tanyanya kemudian.

Vey menghela napas sebelum berkata dengan suara pelan karena beberapa orang mulai masuk ke dalam kelas. "Gue takut salah langkah karena semua ini terlalu baru buat gue dan terjadi terlalu tiba-tiba. Gue masih kaget sama pribadi lo yang sekarang beda, Dan. Gue belum siap."

Mendengar itu, entah kenapa raut wajah Aidan tiba-tiba menjadi keras sekali. Garis rahangnya semakin terlihat tajam, apalagi matanya yang menusuk ke kedalaman mata Vey

Aidan bangkit begitu tiba-tiba, membuat kursi yang awalnya dia duduki berderit karena posisinya sedikit bergeser. Kepala dua orang siswa lain yang berada di kelas sontak menoleh ke arahnya.

Vey mendecak. "Dan—"

"Udahlah, Vey, gue ngerti." Aidan menyugar rambutnya. "Pernyataan lo masuk akal."

Sebelum Vey sempat mengatakan apapun, Aidan berjalan menjauhinya.

×

Hari ini terasa aneh sekali. Vey tahu kalau dia yang meminta Aidan untuk tidak lagi mengganggunya. Aidan benar-benar tidak menghiraukannya seharian ini. Seharusnya Vey lega karena itu 'kan? Tapi nyatanya dia tidak menginginkan perasaan kesepian yang dia rasakan sekarang.

Calvin sudah tidak ada. Jelas-jelas Vey membutuhkan Aidan. At the very least. Karena nyatanya siapa lagi yang Vey miliki di sekolah? Vey tidak lupa ingatan kalau dia benar-benar tidak memiliki teman 'kan?

Melihat keanehan di antara keduanya, Vey bisa merasakan tatapan Olivia yang sedari tadi menatapnya penuh kemenangan, seperti sudah menduga kalau hal ini akan terjadi. Padahal sepenglihatan Vey, Aidan benar-benar terlihat biasa saja dan tidak menyatakan secara terang-terangan kalau dengan keadaannya dengan Vey yang memburuk ini, laki-laki itu bersedia dekat kembali dengan Olivia.

Ah, tidak penting. Apa sih yang Vey pikirkan?

Jam makan siang hari ini, Aidan tidak berada di kelas. Vey benar-benar tidak memiliki pilihan lain selain melihat-lihat isi ponsel dan akhirnya memutuskan untuk berbincang ringan dengan Liona lewat pesan singkat. Namun beberapa menit kemudian, sebuah suara membuat kepala Vey terangkat.

Sebelum sempat mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi, segelas penuh jus alpukat melumuri bagian depan pakaiannya. Vey begitu terkesiap karena itu dan seketika mendongak untuk melihat siapa yang menyiramkan jus ini kepadanya.

"Inget nggak, waktu itu Aidan pernah melakukan hal yang sama kayak yang baru aja gue lakuin ke lo?" Olivia menatapnya dengan pandangan meremehkan. "Gue ngelakuin ini buat ngingetin lo aja sih. Jadi, siapa yang bakal belain lo sekarang?"

Menyadari segala tindakan Olivia dan segala perkataannya itu, emosi Vey begitu saja naik ke tingkat yang paling tinggi. Ini sudah tidak bisa lagi dia terima dan Vey tidak ingin lagi Aidan berada di tengah-tengah dirinya dan siapapun. Kapan Olivia dan teman-temannya akan berhenti mengganggunya?!

Karena merasa begitu marah, entah mendapat keberanian dari mana, ketika melihat ada segelas jus jambu di atas meja seseorang—bahkan Vey tidak ingin peduli meja itu milik siapa—Vey segera meraihnya dan menyiramkannya balik kepada Olivia yang pastinya langsung menatapnya begitu terkesiap. Semua orang yang menyaksikan kejadian barusan pun menatap Vey demikian. Tidak ada yang akan menyangka Vey memiliki keberanian untuk melakukan itu.

Jus jambu itu membasahi seluruh wajah Olivia beserta sebagian besar rambutnya. Vey sendiri ikut terkesiap ketika menyadari apa yang baru saja dia lakukan. Sekujur tubuhnya terasa gemetar.

Ingatlah, Vey, kamu punya Aidan. Kamu punya Aidan, batinnya berusaha menyoraki agar perasaan takut itu menghilang.

Disamping debaran jantungnya yang menggila, Vey benar-benar merasa puas dan tidak merasa bersalah akan hal yang baru saja dia lakukan.

Calvin sering membelanya. Bahkan Aidan, pernah membelanya. Jadi, kenapa Vey tidak memiliki keberanian untuk membela dirinya sendiri 'kan? Itu seharusnya adalah suatu hal yang mudah. Vey tidak seharusnya membutuhkan bantuan siapapun untuk membela diri.

"Gue muak sama lo, Olivia," tembak Vey tanpa bisa ditahan. "Sama lo dan temen-temen lo yang nggak jelas!"

Tidak ingin membuat keadaan semakin kacau, Vey segera bergegas pergi menuju toilet untuk membereskan keadaannya sendiri. Tepat saat Vey melewati pintu kelas, Aidan baru saja ingin melangkah masuk. Cowok itu menatapnya kaget sekali.

Vey melanjutkan langkah tanpa ingin memedulikan apapun.

÷×÷

a.n

hai, kalian yang masih sudi baca sampe sini, makasi banget ahahaha.

oh ya, kalau iseng, bisa coba cek playlists yang gue bikin iseng juga ehe. linknya di website bio gue ya, thank you.

see you! xo.

The Gloomy Girl (E-book)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang