#26 satu permintaan

563 69 13
                                    

Aidan terlihat aneh hari ini. Sepertinya sedang tidak enak badan atau apa, itu bukan urusan Vey juga. Yang membuat Vey kesal adalah Aidan tidak menepati janjinya untuk datang lebih pagi. Padahal Vey sudah membawa jaket miliknya itu di dalam tas.

Lalu bagaimana sekarang dia harus memberikan jaket itu? Lagipula Aidan sendiri tidak ingin bukan jika Vey menghampirinya ketika cowok itu tengah bersama teman-temannya? Pencitraan, ingat?

Saat Dean dan yang lainnya sibuk melempar ejekkan dan membuat candaan tentang Vey di dalam kelas, Aidan diam saja. Sebenarnya itu hal bagus karena orang menyebalkan di kelas ini berkurang satu, tapi hal itu sekaligus aneh. Entah kenapa, Vey merasa aneh saja.

"Vey, Cherry nyakar gue semalem," ucap Calvin tiba-tiba sambil menunjukkan bekas cakaran di dekat mata kanannya.

Vey hanya mengangguk. Semenjak Calvin mengatakan kalimat suka tadi malam, Vey sedikit merasa canggung berbicara dengan cowok itu. Tapi untungnya Calvin bersikap biasa saja, seperti tidak ada hal aneh yang terjadi.

"Obatin di ruang kesehatan lagi dong," tambah Calvin.

Vey menoleh ke arahnya lagi. "Emangnya belum diobatin?"

Calvin menyengir kuda. "Udah, tapi sama lo belum."

"Mau tutup mulut atau gue tambahin porsi cakaran di wajah lo?"

Calvin tertawa geli. Tawanya terpaksa terhenti ketika Miss Jennifer berjalan memasuki kelas. Jam pelajaran kembali di mulai.

Sepuluh menit kemudian, seseorang menginterupsi Miss Jennifer yang sedang menerangkan suatu materi. Aidan mengangkat tangannya, meminta izin untuk pergi ke toilet.

Setelah mendapat izin, Aidan segera berjalan menuju pintu kelas. Aneh. Cowok itu diam sekali hari ini. Sepertinya mood-nya sedang dalam keadaan terburuk.

Lalu seperti tersadar kalau Vey sedang membicarakannya dalam kepala, Aidan melirik ke arah Vey tepat sebelum dia menghilang di balik pintu. Sontak saja jantung Vey berhenti berdetak selama sedetik, terkaget. Apalagi kali ini tatapan Aidan itu sulit sekali dia baca. Entah apa artinya. Semoga saja bukan benci. Lelah sekali Vey menghadapi banyak orang yang membencinya.

×

Berkali-kali Vey membalas pesan Nora yang menanyakan keberadaannya dengan tidak sabar. Vey tahu kalau dia sudah terlambat lebih dari lima menit dari jadwal yang sudah ditetapkan oleh Aryo, tapi mau bagaimana lagi? Jadwal pertemuan itu mepet sekali dengan jam pulang sekolah, jadi bagaimana bisa Vey datang tepat waktu?

Vey mengetuk pintu setelah melihat sosok orangtuanya dari kaca kecil di pintu itu. Semua kepala menoleh ke arahnya saat Vey membuka pintu. Suasana ruangan dokter spesialis saraf ini sepi sekali, membuat Vey merasa canggung.

Nora memaksakan senyum sambil melambaikan tangan, menyuruh Vey untuk duduk di dekatnya. Sepertinya Mamanya itu masih kesal karena Vey telat datang.

Vey duduk di kursi yang tersedia dan langsung berhadapan dengan seorang laki-laki dewasa dengan rambut yang mulai beruban. Laki-laki itu pasti dokternya. Dia tersenyum hangat kepada Vey. Tapi maaf, Vey tidak bisa membalasnya.

"Jadi, kamu Vey?" tanya laki-laki dengan pakaian putih khas dokter itu.

Vey hanya mengangguk seraya melirik papan nama yang ada di atas meja. Prof. Dr. dr. Harry Heaton, Sp.S tertulis di sana.

Kemudian, Dr. Harry meminta izin untuk menjalankan beberapa tes. Vey menurut saja agar semuanya cepat selesai dan dia bisa segera pulang.

Setelah serangkaian tes dikerjakan, mereka duduk kembali di posisi semula. Aryo dan Nora tampak berharap cemas mendengar apa yang akan dibicarakan oleh Dr. Harry.

The Gloomy Girl (E-book)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang