#2 hanya bercanda

1.2K 103 5
                                    

"Verina, boleh gue tanya sesuatu?"

Suara itu membuat kepala Vey terangkat. Fokusnya beralih dari buku tulis ke laki-laki yang sedang bertanya.

"Apa?" balas Vey.

Calvin tersenyum saat Vey membalas ucapannya, membuat Vey merutuk dalam hati. Pasti Calvin berniat untuk membuatnya menderita saat ini juga. Pasti sekarang saatnya, karena Calvin hanya diam sejak kemarin, belum memulai aksinya sama sekali.

"Makanan di kantin sekolah kita yang paling enak, menurut lo apa, Ver?" tanya Calvin sambil memutar sedikit tubuhnya menghadap Vey.

"Tolong, Vey aja, jangan Verina," ujar Vey, tidak suka Calvin memanggilnya dengan nama depan yang lengkap. "Dan, nggak, gue nggak tahu makanan apa yang enak."

"Oke,... Vey." Calvin menaikkan sebelah alis. Sepertinya cowok itu mulai jengah. "Lo beneran nggak tahu makanan yang enak? Kenapa bisa?"

Bisakah Calvin berhenti bertanya tentang hal yang tidak penting?

Vey mengabaikan pertanyaan Calvin dan kembali fokus dengan buku catatan sosiologinya. Tidakkah ada hal yang lebih penting untuk dilakukan Calvin, misalnya ikut mencatat tugas yang diberikan oleh guru sosiologi? Daripada bertanya kepada Vey tentang hal yang bisa dia cari tahu sendiri?

"Verina, gue lagi nanya sama lo."

Vey berusaha untuk tetap fokus pada bukunya. "Gue nggak pernah makan di kantin."

"Kenapa? Makanannya nggak enak, ya? Atau lo selalu bawa bekal dari rumah?" Pertanyaan yang dilontarkan Calvin semakin bertubi-tubi.

Vey menghela napas menghadapi cowok di sebelahnya. "Lo pasti tahu kenapa."

Calvin mengerutkan kening. "Gue tahu apa? Bahkan ini baru hari kedua gue sekolah di sini."

Vey tidak membalas lagi.

"Lo mau, makan siang bareng gue di kantin?"

Pertanyaan Calvin kali ini membuat kepala Vey dengan cepat menoleh ke arahnya. Vey menatapnya tanpa ekspresi, seperti biasa. "Lo nggak salah ngomong?"

"Emang barusan gue ngomong apa?"

"Lo ngajak gue makan bareng di kantin."

Calvin mengangguk. "Berarti gue nggak salah ngomong. I mean it."

Vey langsung menggeleng tanpa berkata apapun.

"Kena—"

"Kalau lo mau gangguin gue, silahkan gangguin gue di sini," potong Vey tanpa menatap Calvin. "Jangan permalukan gue di depan orang banyak. Itu 'kan yang lo mau?"

Vey tahu, niat baik Calvin mengajaknya makan siang bersama hanya awal dari niat jahatnya untuk mempermalukan Vey di kantin, di depan orang banyak. Bahkan mungkin hal itu sudah dia rencanakan bersama Aidan dan teman laki-laki yang lain saat mereka berkumpul saat jam istirahat tadi.

Calvin sama saja dengan teman-temannya yang lain yang senang melihat Vey merasa buruk.

"What do you mean, Veri—"

"Vey, please," potong Vey lagi.

"Vey, apa maksud lo?" Calvin menatap Vey dengan tatapan bingung. "Lo nggak suka sama perkataan Aidan dan yang lain? Vey, ayolah, mereka cuma bercanda."

Vey kembali menatap Calvin. "Seriously?" Jika Vey bisa, sesungguhnya dia ingin sekali menertawakan ucapan Calvin yang bodoh itu.

"Lo harus coba untuk lebih membuka diri, Vey," balas Calvin serius. "Mereka nggak akan memperlakukan lo dengan nggak pantas kalau lo mencoba untuk bergabung."

"Stop it, Calvin." Vey mencoba kembali fokus ke buku tulisnya. "Kalau lo emang suka bergaul sama mereka, itu bukan masalah buat gue. Tapi tolong berhenti mengurusi kehidupan sosial gue."

×


Siapapun pasti menganggap Vey membosankan, menyebalkan, dan keras hati. Vey tidak pernah menunjukkan ekspresi apapun di depan semua orang. Dalam arti sebenar-benarnya. Wajah Vey selalu datar dan akan selalu begitu.

Tidak heran kenapa Vey tidak memiliki teman hingga sekarang. Karena memang bagi orang-orang, Vey itu... mungkin beberapa dari mereka menganggap Vey jahat. Dan karena itu, mereka tidak ingin berteman.

Keadaan berlanjut dan berbalik bagi Vey. Orang-orang mengiranya tidak punya hati. Tapi siapa yang tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam hati Vey?

Mereka menganggap Vey jahat karena terlalu tinggi hati, arogan, dan tidak ramah sama sekali. Lalu akhirnya malah Vey yang dijahati dan tidak ada yang bisa dia lakukan untuk mengatasi kenyataan itu. Orang-orang itu terlalu banyak. Vey kewalahan.

Meskipun sebenarnya, Vey tidak bermaksud bersikap seperti yang orang-orang kira. Vey juga tidak ingin seperti ini. Vey ingin mengobrol dengan santai dengan banyak orang. Vey ingin membalas senyuman orang-orang di sekitarnya. Vey ingin tertawa karena hal-hal yang lucu dengan teman-temannya.

Vey juga ingin melakukan semua hal itu!

Vey hanya tidak bisa, bukan ingin bersikap arogan. Vey sendiri tidak ingin dilahirkan dan tumbuh seperti ini. tapi lagi-lagi Vey bisa apa?

Orang tuanya tidak terlalu berkecukupan. Bahkan keadaan ekonomi keluarganya semakin memburuk semenjak Papanya meninggal satu setengah tahun yang lalu. Nora yang awalnya hanya mengurus rumah tanpa bekerja, terpaksa mencari pekerjaan agar kehidupan mereka tetap berlanjut dan Vey tetap bisa bersekolah.

Kehidupan memang tidak mudah. Tetapi kalian akan jauh lebih merasakan tidak mudahnya kehidupan jika kalian berada di posisi Vey saat ini.

Bagaimanapun juga, setiap hal memiliki sisi positif dan negatif. Begitu pula dengan keadaannya sekarang. Vey mensyukuri satu hal. Ketidakmampuannya untuk berekspresi menguntungkannya di saat-saat seperti ini.

Saat-saat ketika Vey menangis dalam hati, tidak akan ada yang tahu.

÷×÷

a.n

halo, maaf gue melanggar janji. seharusnya ini udah lama di update tapi ya ada sesuatu. part setelahnya bakal di update cepet kok.

The Gloomy Girl (E-book)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang