#46 another lie

423 41 0
                                    

Aidan jarang sekali merasa seperti ini. Hampa. Hidupnya benar-benar terasa membosankan meskipun sejak kemarin Dean, Tama, dan Leon mengajaknya melakukan banyak hal yang sepertinya menyenangkan bagi mereka. Tapi untuk meluangkan waktu untuk tertawa saja rasanya Aidan tidak berminat.

Sejak mengetahui Calvin telah benar-benar pergi, Vey tampak tidak bersemangat sekali. Aidan jadi segan untuk mengganggunya karena takut-takut dia malah membuat suasana hati Vey semakin buruk tanpa bisa dia cegah. Aidan hanya sempat meneleponnya satu kali semalam. Vey bahkan hampir tidak berbicara sama sekali selain menjawab 'ya' atau 'tidak'.

Seharusnya perasaannya tidak sepayah ini. Aidan merasa aneh sekali melihat Vey terlihat begitu sedih. Kesedihan Vey kali ini pasalnya berbeda dari kesedihan-kesedihan perempuan itu sebelumnya, sampai berhasil membuat Aidan ikut merasa tidak bersemangat sepanjang hari. Setiap mendengar suara Vey yang serak, duh, Aidan bahkan tidak tahu harus berkata apa padanya.

Aidan berjalan menyusuri koridor dengan langkah malas. Entah Vey akan masuk sekolah atau tidak hari ini. Baru kemarin Calvin meninggalkannya dan Aidan sangsi Vey sudah benar-benar merasa baik hari ini.

Sebenarnya Aidan merasa bersalah juga karena terakhir kali, pembicaraannya dengan Calvin tidak berakhir baik. Lalu tiba-tiba cowok itu lenyap, tidak ada lagi. Seharusnya setidaknya mereka bisa berteman, bukan? Kenapa sih harga diri Aidan dan egonya itu tinggi sekali?

Begitu kakinya sukses memasuki kelas, Aidan diherankan dengan keberadaan Vey di kursinya. Sendiri. Seperti sebelum Calvin datang. Verina dengan ekspresi datar.

Tidak ingin membuat lebih banyak kesalahan, Aidan akhirnya melangkah dengan mantap ke arah Vey. Dean menatapnya aneh ketika Aidan terus berjalan melewati meja mereka. Tapi sayangnya, Aidan tidak punya waktu untuk peduli. Apalagi ketika teman-teman satu kelasnya yang lain ikut menatapnya dengan pandangan aneh.

Aidan langsung duduk di sebelah Vey. Di kursi yang sebelumnya adalah milik Calvin. Otomatis Vey menoleh padanya. Sepertinya tidak sadar kalau Aidan ternyata sudah berada di kelas karena yang Vey lakukan sejak tadi hanya melamun.

"How are you?" tanya Aidan.

Vey sempat terdiam selama beberapa saat sebelum mengedikkan bahu. "Kelihatannya gimana? Menyedihkan banget, ya?"

Aidan menunjukkan senyum maklum. "Biasa aja. Tetap cantik."

"Aneh," gumam Vey sebelum kembali menangkup wajahnya dengan satu tangan dan menunduk.

Ketika mendapati suatu ide di kepalanya, Aidan berdiam diri selama beberapa saat, berpikir. Apakah Vey akan menyetujuinya?

"Nanti malam, mau jalan-jalan sama gue?" tanya Aidan pada akhirnya.

Vey lagi-lagi menoleh padanya, sebelum beberapa detik kemudian menggeleng. "Gue mau istirahat aja."

"Serius?" tanya Aidan lagi, masih berharap kalau Vey berniat untuk mengubah pikiran dan menyetujui ajakannya. "Ini bakal seru banget. Please, Verina, I can't go if I'm alone."

Alis Vey terangkat. "Emangnya mau kemana?"

"Liat nanti. Lo bakal suka," jawab Aidan dengan yakin. "Jadi, gimana?"

Butuh waktu sepuluh detik sebelum akhirnya kedua bahu Vey terangkat. "Boleh."

Akhirnya suasana hati Aidan yang sejak kemarin membosankan bisa lenyap hanya karena mendengar itu. Aidan masih terus menahan senyum sampai bel masuk berbunyi. Suara Vey membuat kepala Aidan menoleh.

"Pergi sana," ujar Vey. "Udah bel masuk."

Aidan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Can I... stay? Here?"

The Gloomy Girl (E-book)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang