Bermula Suku Ngali

380 19 0
                                    

Lepas dari jeratan sejarah, ada sebuah pulau kecil, peradaban hilang. Bahkan manusia dari pulau seberang tidak sempat membuat mitos tentangnya. Mereka benar-benar hilang, tidak ada satupun yang mengenal ataupun mengingat mereka.

Mereka menyebut diri mereka Suku Ngali. Tinggal dalam sebuah pulau kecil berbentuk melingkar. Dari tengah sampai ujung selatan pulau, terbentuk retakan karena gempa. Retakan tersebut menjadi sebuah jurang yang menjadi sungai perbatasan. Sedangkan di utara, daerahnya adalah kawah gunung berapi.

Tidak ada yang bisa dilewati untuk menyeberang ke sisi pulau. Oleh karena itu, leluhur membuat jembatan untuk menghubungkan saudara yang terpisah. Suku Ngali Timur dan Ngali Barat, begitu nama yang tercipta karena ketidakberuntungan mereka.

Ada sebuah adat untuk menyilangkan masing-masing anak dari kedua suku ini. Anak laki-laki kepala suku Ngali Barat akan menikah dengan anak perempuan suku Ngali Timur, begitu juga sebaliknya. Sebagai bentuk persaudaraan dan meneruskan darah bangsawan.

Di tanah yang lembab, tiga anak kecil berusaha menembus rawa. Kaki dan tangan mereka yang kuat bergerak dari satu pohon ke pohon lain. Mereka harus hati-hati melewati medan yang jarang terjamah kaki manusia. Apabila mereka tidak beruntung, tanah yang terlihat padat akan menelan tubuh mereka bulat-bulat.

Memimpin di depan, Jegoro memotong akar gantung menggunakan semacam pisau pendek. Memadatkan dan mengikat, akar tersebut menjadi tali untuk dilewati bergantian. Jegoro memeriksa keamanan jalan tersebut untuk adik-adiknya. Setelah dirasa aman dan sampai tujuan, dia berisyarat. Samu pun turun mengikuti langkah kakaknya, diikuti adik yang paling kecil, Andim.

Setelah menemukan jalan di tanah yang padat, mereka mulai berjalan. Jegoro menerobos pepohonan dan berwaspada apabila ada buaya atau binatang buas lainnya. Ular sudah jarang di kawasan desa, tapi tidak tahu apabila mereka bersemayam di sini.

"Aka sito, masih jauh, kah?" Andim bertanya pada kedua kakaknya.

"Iak tahu," jawab Samu. "Aka sito, benarkah ada rumah kemprung di kratan terlarang?"

"Ceplah kalian, tuh. Iak percaya sama aka nanda sendiri," Jegoro dengan kesal menjawab adiknya yang ribut.

Bukan salah Samu dan Andim jika khawatir akan tersesat, yang memaksa mereka untuk ikut adalah Jegoro. Ia ingin menjawab rasa penasarannya yang kambuh dari tempo hari. Saat berlembu di tengah hutan, ia tak sengaja melihat bangunan di kratan terlarang.

Dari jauh terlihat agak mirip dengan rumah adat di desa mereka. Namun, dari awal memang tidak ada orang yang bisa hidup di sana. Saat leluhur mencari jalan untuk sampai ke seberang pulau, mereka ke utara mendekati gunung berapi. Tetapi orang kiriman wali suku tidak kunjung kembali. Tidak tahu apa bahaya yang sebenarnya, orang desa menganggapnya keramat dan memilih menjauhinya.

Jegoro memang suka berpetualang dan bandel kalau terus menetap di desa. Karena itu dia ditugaskan berlembu ke hutan sendirian. Tetapi, ia tidak suka menyendiri, diseretlah anak-anak desa untuk bersamanya saat menjelajah. Kali ini, giliran adik mereka sendiri.

"Itu, karyan lihat sendiri, ada pohon terentang. Pohon tinggi macam tuh bisa dibuat tanda wigta pulang. Iak usahlah risau karyan," Jegoro mencoba menenangkan adiknya.

"Aka, lihat itu, Aka!" Samu menunjuk pada pohon pinus yang tumbang.

Mendekat, terdapat beberapa potong kayu dan bilah kapak. Ada kehidupan di daratan terlarang ini. Setiap orang pasti butuh kayu, tidak terkecuali orang di sini, sudah tidak salah lagi. Senyum Jegoro tak tertahankan melihat dugaannya benar.

Tempat yang mereka tuju sudah dekat. Dari kaki gunung, terlihat kayu kamper tersusun di samping goa. Membentuk bangunan beratap, bertembok, berpintu, dan berventilasi. Walau disampingnya sudah ada tempat berteduh, tapi masih membangun rumah.

"Tunggu, aka!" Andim menarik pakaian Jegoro. "Aka lihat ular besar itu."

Ular berbelang hitam coklat sedang berjemur di dahan pohon. Perutnya yang agak kembung menandakan dia habis makan. Meskipun begitu, tidak menutup kemungkinan dia akan menyerang bila terlalu mendekat atau tidak sengaja tersentuh.

Jegoro menarik diri dengan hati-hati. Di sekililingnya masih banyak bahaya. Rumah kemprung tersebut tidak bisa dijangkau dari arah sini. Setidaknya mereka harus memutar, tetapi matahari sudah memanggil di sisi barat. Mereka harus pulang selagi ada sinar.

"Besok, bisa wigta cari jalan lain. Ito, wigta pulang dahulu. Perhatikan langkah karyan."

Suku yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang