Dalam ruangan yang gelap, duduklah seorang pria. Dengan telanjang dada, dia bersila seperti pertapa. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya, ruangannya sungguh panas karena tidak ada sirkulasi udara. Sejak terakhir merasakan angin berhembus, kini Cadas menoleh.
“Ada apa, to? Sia sedang berkomunikasi dengan para leluhur.“
“Sudahlah, yaya. Bisa-bisa yaya menyusul leluhur bila iak makan.“
“Kalau memang itulah yang diinginkan leluhur, sia sudah rela bergabung.“
“Kalau begitu pasalnya, roh sia iak akan diterima leluhur nantinya.“
Jegoro masuk tanpa seizin bapaknya. Dengan piring dan gelas gerabah di tangan, dia membawa makanan dan minuman. Duduk di depan bapaknya, dia juga ikut bersila.
“Samu dan Laota sudah selesai membuat kapalnya. Akhirnya ada ngamu yang bisa berjalan di atas air. Wigta iak perlu berenang lagi. Besok rekta mengajak yaya buat menaiki kapal itu.“
“Kapal, ya. Sia iak akan pergi.“
“Kenapa? Iakkah yaya sudah sehat sekarang?“
Setelah bermeditaasi begitu lama, Cadas sepertinya mendapat kesembuhan atas penyakitnya.
“Masih iak sempurna. Jika sia iak menapakkan kaki di tanah Ngali ini lagi, semua akan mati.”
“Kenapa begitu, yaya?”
“Wabah. Sia sudah lama berdiam di sini untuk mengamankan keselamatan suku Ngali. Sia mendapat wangsit dari leluhur untuk menghilangkan pengerusak dari muka pulau ini.“
“Dan itu yang dimaksud apa, yaya?”
“Iak tahu,” Cadas mengangkat gelas air. “Bisa saja itu yang menimbulkan penyakit di desa ini.”
Setelah diam beberapa lama menatap genangan air, Cadas membanting gelas itu.
“Yaya, ada apa?!”
“Wigta diracuni. Air dari mata air wigta sudah diracuni. Pengerusak yang dimaksud itu adalah ngamu wigta sendiri. Sia harus turun tangan.”
Laota datang dengan tiba-tiba. Mulutnya terngengah-engah sehabis berlari.
“Wigta diserang … Ngali Timur … kratan terlarang.”
Mereka bertiga keluar. Sudah terlambat untuk mempersiapkan pertahanan. Pasukan Ngali Barat sudah sangat dekat hampir memasuki desa. Mereka berlari memutar dari daratan terlarang. Dengan nasib baik, mereka sudah bisa sampai di sini. Bahkan ketika para musuhnya kebanyakan terlelap.
“Laota, bangunkan semua ngamu. Para sito, siapkan mereka untuk berperang dengan. Bawa semua senjata yang ada,“ perintah Cadas.
“Oit,“ Laota langsung berlari.
“Bangunkan ito-ito nanda. Sudah tiba untuk sia pergi.”
“Jah,” Jegoro segera membangunkan seisi rumah.
Bersiap dengan ketergesaan, Ngali Timur sudah memasuki desa. Lentera di desa tidak dinyalakan untuk mengelabuhi musuh. Kini berkumpul Jegoro dengan pasukannya untuk menahan Ngali Timur.
Setelah diberi persenjataan dan tanda di pihak yang sama, Ngali Timur dipisah ke bagian-bagian untuk mengamankan pengungsian. Wanita dan anak-anak harus dilindungi sebelum fokus untuk bertempur.
“Jangan ragu untuk membunuh saudara pulau wigta. Rekta ialah pengkhianat yang berani melangkah ke kratan terlarang dan kratan wigta. Rekta bukan lagi saudara wigta melainkan musuh yang darahnya akan tumpah mengotori tanah wigta. Angkat sampit karyan. Akhiri rekta, lalu nama wigta akan menjadi murni. Hidup Suku Ngali!“
KAMU SEDANG MEMBACA
Suku yang Hilang
Historical FictionIndonesia adalah negara besar yang terdiri dari sebaran ribuan pulau. Sudah bukan hal yang tabu untuk negara seperti ini menyimpan keberagaman suku dan budaya. Indonesia sudah kaya raya, hanya dengan manusianya, yang sudah tertulis dan tercatat di s...