Malam Kawin

52 6 0
                                    

Dengan langkah demi langkah ke papan kayu, Laota dan Jegoro menyeberangi jembatan. Muat untuk dua orang bersebelahan, tapi mereka lebih memilih depan belakang. Pegangan di samping jembatan terbuat dari tumbuhan gayam.

Melintas dengan ngeri, di bawah mereka adalah jurang yang dihuni buaya. Meskipun bisa selamat karena air di bawah, tetapi tidak akan selamat dari para buaya. Sisi barat lebih tinggi dari sisi timur, jadi posisi mereka sekarang turun. Jika bergoyang akan terasa sangat ingin jatuh.

Nanda lihat tali akar ini,“ kata Laota. “Meskipun kuat untuk menahan berat ngamu, tapi tetap putus jika lawan benda tajam.“

“Kalau begitu, wigta potong sekarang. Selagi masih iak ada ngamu.“

Jegoro sudah memasitkan beberapa kali sebelum berangkat. Bulan kali ini juga tidak terlalu terang. Semua orang pasti tidur lebih awal untuk hari kawin besok. Keberadaan mereka pasti tersamar dan tidak ada yang tahu.

Rencananya, jika tidak ada jembatan, maka kawinnya tidak akan berlangsung. Terputus satu-satunya jalan yang menghubungkan kedua desa. Ini yang dimaksud Laota bahwa Jegoro juga tidak akan menghilangkan jatah kawinnya.

“Tunggu, jangan dipotong,“ tahan Laota.

“Kenapa?“ tanya Jegoro.

“Jika jalan yang diputus, masalahnya hanya ditunda. Wigta butuh persiapan lebih bila mau tujuan besar tercapai. Ayo jalan.“

Mereka turun ke desa Ngali Timur. Sama seperti keadaan desanya, semua sepi saat malam. Lenteranya juga sudah kebanyakan padam. Tidak ada orang yang berkeliaran ataupun berjaga.

“Kemana wigta?“

“Rumah wali desa.“

“Kenapa?“

“Ambil sampit.“

Wigta sudah bawa.“

Sia tahu, yang sia butuh sekarang ialah sampit milik Ngali Timur.”

Dari tadi melwati bangunan rumah dengan hati-hati. Menyelinap dalam gelap benar-benar mirip maling. Laota tidak bergerak semabrangan, ketika melihat rumah anjing, dia segera mencari jalan lain. Meskipun tidur, anjing tidak bisa dikelabuhi saat seperti ini.

Sampai di rumah tengah desa, mirip dengan rumah Jegoro. Bangunannya juga serupa, Jegoro serasa melihat rumahnya sendiri. Saat masuk diam-diam pun terasa seperti pulang. Memang beginilah rumah wali desa.

Dari samping rumah membuka cendela. Memilih tempat yang sama dengan kamarnya Jegoro. Di situ mereka mendapati Bijaka tiudr di ranjang kayunya. Tidak ada tanda akn bangun. Jegoro mengangguk pada Laota, menandakan tempatnya tepat dan mulai mencari.

Memeriksa di meja, laci, lemari, tungku, atap, bawah ranjang, tidak ditemukan. Laota menunjuk ke tubuh Bijaka yang bergerak. Ada sampit di dekat dia tidur, masih tertutup sarungnya tapi terlihat. Bekerja sama, Laota menahan tubuhnya, lalu Jegoro mengambil sampitnya. Beruntungnya, kerja mereka lancar dan langsung pergi.

Oit, sia sudah dapat. Sekarang apa?“

“Potong tali ikatnya. Jangan sampai putus. Longgarkan saja.“

Mereka belum menyeberang, jika jembatannya sudah putus duluan maka sudah. Setelah sampai ke desa Barat.

“Tancapkan sampit itu.”

Jegoro menurut.

“Sudah selesai. Wigta tunggu esok pagi. Sekarang pulang.”

“Begini saja?”

Jah, tentu.”

“Jembatannya masih bisa dilewati. Kawin besok masih bisa terjadi.”

“Tentu iak. Sudah sia pastikan iak bisa dilewati. Esok jembatan ini akan roboh. Pasti iak akan kuat menahan berat para ngamu dewasa.”

“Kenapa iak langsung wigta roboh saja jembatannya sekarang?“

“Bila begitu, ngamu barat akan dicurigai oleh wali desa. Akan dilempar ke sungai wigta bila ketahuan. Kalau begini, wali desa, yaya nanda akan berpihak pada wigta.“

Jegoro tidak terlalu paham. Dengan percaya pada Laota, masalahnya bisa terselesaikan. Dia percaya akan hal itu dan tidak pernah membantah. Yang paling penting dihargainya saat ini adalah tujuannya yang bisa tercapai.

Suku yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang