Pertemuan Saudara Pulau

55 7 0
                                    

Di sisi lain pulau.

“Bijaka, sudah siapkah, nanda?”

“Sebentar, yaya. Mana sampit sia?”

“Mau perangkah, nanda?“

Iaklah, yaya. Iak tampak wibawa sia bila iak bawa sampit.”

Jah, nanda bawa punya, yaya.”

“Tapi, yaya  ….”

“Bawalah, sudah besar, nanda. Pantaslah nanda terima.“

Jah, terima kasih, yaya.“

Habis berpamitan dengan ibunya, Bijaka berangkat. Bersama bapaknya dan beberapa pengawal, mereka melewati perbatasan, menyeberangi jembatan. Di sana, mereka sudah disambut oleh warga Ngali Timur. Berita sudah sampai dan wali desa Timur menyiapkan acara jamuan.

“Salam, saudara pulau, selamat datang,” sambut Cadas kepada rombongan.

“Salam, saudara pulau. Sudah lama iak jumpa, Cadas. Masih nampak bugar, nanda. Mana pini, nanda? Iak lama jumpa sama ito noya sia.“

Jah, jah, jah. Masuk dulu, karyan. Sudah sia punyakan kupat abon.“

Semua berkumpul dalam ruang tengah wali desa. Mereka duduk memutar seperti kenduri dan mulai menggilir sirih. Air payau dengan wadah gerabah disusun elok di setiap depan laki-laki di sini. Perempuan desa yang melayani tak lupa melempar senyum “silahkan dimakan“.

Adat melamar keluarga wali desa adalah pertemuan dua wali dan lelaki yang melamar. Perempuan yang dilamar tidak boleh berada di ruangan yang sama, karena itu Saliya tidak ada di sini. Lelaki yang melamar, Bijaka, tidak boleh bertemu dan bercakap dengan calon semasa melamar sampai hari kawin.

“Jadi macam itulah, Cadas. Kedatangan wigta untuk menjaga adat yang disalurkan leluhur wigta, ke wigta. Bijaka ini, anak sia sudah berumur cukup untuk menikah.“

Jah, anak sia, Saliya, juga sudah matang. Memang sudah waktu, lah. Sudah waktu nanda turun jabatan, Parinta. Hahaha ....“

Cadas tertawa, diikuti orang-orangnya, juga orang Ngali Timur. Parinta menggeleng-geleng kepala. Sedangkan Bijaka tersipu, teringat pemberian bapaknya tadi.

“Bisa aja, nanda ini. Oitlah, sudah pendek urusan. Langsung saja tiga hari lagi wigta adakan hari kawinnya. Langsung satu hari di dua desa. Siang di desa Barat, Sore di desa Timur. Biar nanti sekalian Saliya wigta bawa pulang.“

Jahlah, sia relakan anak sia. Biarlah noya melahirkan penerus yang bisa membanggakan suku Ngali wigta. Berdirilah, Parinta. Jabat tangan sia ini. Tanda lamaran nanda wigta terima.“

Cadas berdiri. Semua orang juga berdiri. Parinta berdiri. Angkat tangan dengan mantap serupa melakukan panco. Bertatapnya kedua tangan, lamaran diterima dan hari kawin akan dilangsungkan.

Semua tentu berbahagia dengan lancarnya urusan. Kecuali Saliya. Canggung dia dengan laki-laki yang tidak pernah dikenalnya sama sekali. Menagislah dia di ruangan sebelah. Ibu Saliya memeluknya, tentu ibunya paham betul apa yang dirasakan anaknya itu.

Jegoro dengan iba menatap kakaknya yang sedang menagis dari balik tirai manik kerang. Dia tidak perhatian pada orang di depannya sedang menari-nari dan bertepuk tangan. Kelamlah Jegoro dalam empati ke kakaknya. Tidak tega dia apabila calon istrinya juga menderita sama seperti kakaknya.

Ito noya, baik-baikkah, nanda?”

Parinta masuk mengunjungi saudara perempuannya, yang kini diperistri oleh Cadas.

“Baik, sia, aka juga baik-baikkah di sana?”

“Tentu, lah. Sudah lama nanda iak temu sama yaya maiya. Hari kawin esok temuilah rekta. Sedang dirindu ngamu banyak nanda itu.“

Jahlah.“

Parinta kembali dari dalam rumah. Karena Ibu Saliya sedang bersama Saliya, Bijaka tidak bisa bertemu dengan ibunya. Setelah berpamitan, Parinta dan pasukannya pergi dari desa. Tiga hari lagi akan bertemu, diadakan pesta di desa. Hari itu akan meriah dari pagi sampai malam.

Suku yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang