Pijakan Harapan Khayal

49 6 0
                                    

Suatu hari, Terja dan kru kapal berlayar pada malam hari yang penuh kabut. Bukan tanpa alasan atau menjadi nelayan, mereka ada janji dengan pedagang lain. Tempat bertemunya adalah di tengah laut pada malam hari. Waktu yang aneh, pelanggannya rela membayar banyak untuk barang dagangan.

Itu sangat menguntungkan dan tidak bisa dilewatkan. Mengambil peluang adalah salah satu ciri khas pedagang. Kru juga sudah terbiasa untuk berlayar pada malam hari dan tidur di kapal. Nahkoda bisa dipegang bergantian atau dikunci dengan tali.

Malam itu, kaca teropong Terja mengembun. Ambuhi menyaksikan apa yang juga dilihat Terja.

“Mereka sudah datang.”

Terlihat kapal mendekat dari sisi yang berlawanan. Kapalnya sedikit lebih besar dari yang mereka tumpangi. Kalau bisa dibilang, sangat besar untuk kapal pedagang biasa. Terja mempunyai firasat jelek dari matanya. Dia segera mengambil obor dan meninggikannya.

Dua kapal berhenti dan menurunkan jangkar. Balok kayu digunakan sebagai jembatan penyeberangan. Tiga orang dari kapal lain datang dan bernegoisasi dengan Terja dan kru kapal. Ambuhi tidak mendapat tempat untuk mendekat. Entah mengapa Terja melarangnya.

Sesaat sadar apa yang sebenarnya terjadi, mereka mengerti alasan pelanggan tidak dikenal ini mengajukan uang banyak. Mereka ditipu, terlihat Terja dan krunya mengankat tangan atas todongan pisau pendek. Setelah itu, semua anak kapal diikat dengan tali tangannya dan disuruh berlutut. Semua barang dagangan mulai dari benda hiasan, senjata, koin emas, dan bahan makanan dibawa ke kapal lain.

Tidak sampai di situ pembajakannya. Kapten bajak laut ini berbicara panjang dengan krunya, menimbang-nimbang keadaan. Firasat buruk saat Terja melihat kapten bajak laut berpikir, menyimpan sandra juga tidak menguntungkan.

“Ambuhi,“ bisik Terja. “Ini mungkin akhir dari kami. Jika mereka bisa menerimamu, berusahalah sebaik mungkin kepada mereka. Jika tidak, melarikan dirilah sejauh mungkin.“

“Ke mana? Di sini adalah lautan luas. Tidak mungkin selamat jika sudah melompat dari papan.“

“Berenanglah ke selatan. Tidak banyak hewan air buas di sekitar sini. Aku yakin ke sana adalah jalur terpendek untuk pulau terdekat. Kau pasti bisa.“

“Bagaimana denganmu ...?“

Seketika terdengar suara teriakan. Kapten bajak laut menikam punggung salah satu sandra. Dia terlihat bersenang-senang dengan menyiksa. Itu mungkin juga untuk mengurangi resiko selamat saat dijatuhkan ke laut. Sungguh kejam, jika begitu tidak akan ada yang bisa lari.

“Ambuhi, ingatlah pesanku.“

Terja seketika bebas dari ikatannya, tidak tahu di mana ia menyembunyikan benda tajam. Berlari mendorong perompak dan menjatuhkan pisaunya. Itu adalah pembuka kesempatan untuk temannya bisa lari.

Semua terpicu karena Terja menyerang balik. Perompak yang ada di kapal lain segera membantu rekan dan kaptennya. Terja membalik papan untuk memotong jalan, satu orang jatuh saat berusaha menyeberang. Menghindari panah, tali layar putus dan menimpa kru kapal. Kapten bajak laut memotong ke atas seperti mayat bangkit dari kubur. Yang pasti, pedang panjangnya sudah siap di tangan.

Itu kabar buruk, untuk bisa melarikan diri. Kru kapal Terja yang sudah berusaha membuka ikatan dengan pisau ditusuk tulang leher belakangnya. Mati seketika, Kapten bajak laut melanjutkan. Terja mengambil obor dan bola meriam. Ambuhi berada pada urutan terakhir penebasan itu.

Mengisi meriam dengan bolanya, Terja membuat keputusan gila. Jika dilakukan sedekat itu, akan juga berdampak pada kapalnya. Tidak peduli bagaimana itu berlangsung, semua terguncang karena meriam itu. Kapal itu dan ini rusak. Kain layar dirusak dengan panah api. Kapal itu sebentar lagi akan terbakar.

Mengangkat paksa Ambuhi yang tangannya masih terikat, Terja meloncat keluar kapal. Ledakan besar kedua kalinya timbul dan menyebabkan kebakaran besar. Entah bagaimana Terja berusaha untuk hidup, di atas laut dia menaruh Ambuhi yang cukup besar di punggungnya. Seperti seorang ayah yang berusaha menyelamatkan anak bayinya. Ambuhi setengah berpegangan dan mencoba melepaskan ikatannya agar bisa berenang sendiri.

“Baik, mulai dari sini, aku akan berenang sendiri,“ desak Ambuhi.

Tapi Terja menyuruhnya untuk terus menempel di punggungnya sementara. “Jangan. Hematlah tenaga. Tunggulah giliranmu.“

Ambuhi tidak mengerti. Tapi saat melirik sekilas mata Terja, itu adalah mata yang mengharapkan sesuatu. Mata harapan untuk hidup. Tapi bukan untuk dirinya sendiri, melainkan orang lain.

Terja menerjang lautan luas dengan cepatnya. Itu adalah tenaga terakhir yang dilakukan perenang. Lama kelamaan ia merasa semakin turun tenggelam. Ambuhi semakin khawatir dan meminta untuk bergantian.

Terja berhenti. Dengan tenaga terakhir, ia mengangkat tubuh Ambuhi dari punggungnya. Lalu melemparnya seperti bola meriam.

“Jangan menoleh! Pergilah terus ke selatan! Percayalah! Terus hidup!“

Mati dengan kepercayaan.

Tubuh Terja menghilang ke laut dengan harapan Ambuhi bisa terus hidup. Ambuhi menangis, air matanya bersatu dengan air laut yang asin. Tugas terakhir yang harus dilakukan. Mau tidak mau. Bisa tidak bisa. Bahkan harus mengkhianati seluruh dunia karena nasib yang kejam.

Ambuhi harus tetap hidup.

Suku yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang