“Laota! Laota ...! Dimana, nanda?“
Laota melambai tangan sambil berbaring di pasir. Setelah acara selesai, Jegoro pergi mencari Laota ke rumahnya. Tidak ada, dia berkeliling desa, lalu sampai ke pantai. Jegoro menghampiri Laota yang masih telentang dengan bantal tangan.
“Ada apa cari sia, Jegoro?”
“Kenapa nanda iak beri tahu kemarin saat ketemu?”
“Bapak nandalah yang punya tugas sampaikan kabar. Nanti-nanti nanda juga tahu sendiri, itu pikir sia.“
“Kalau tahu macam ini, lebih baik sia iak kawin saja.“
Laota terduduk karena kata-kata Jegoro. Duduk bersebelahan, akan sambung kepada topik yang penting.
“Kenapa tahu-tahu begitu?“
“Aka noya, Saliya, menangis terus-terusan karena kawin tersebut. Kalau terbayang pini sia juga seperti itu, lebih baik sia iak kawin selamanya.“
“Ah nanda ini. Kawin itu urusan ngamu dewasa. Nanti paham sendirilah. Kalau nanda lihat maiya nanda sekarang, menderitakah noya? Tentu iak, kan. Macam itulah ngamu noya.“
“Tapi, lebih baik jika sia bisa pilih pini sendiri. Akan lebih tenang hati sia. Juga sia iak akan memaksa bila calon pini sia iak mau.”
“Jegoro, ingatlah marga, nanda. Darah leluhur bangsawan mengalir di darah nanda. Orang spesial yang akan pimpin desa nanda itu. Tegaslah. Jangan macam daun bayam.“
“Nanda beruntung, Laota. Nanda bebas pilih pini sendiri. Iak ada yang akan protes bila nanda jadi bujang selamanya.“
“Tak sopanlah, nanda ini.“
Laota sebelum Jegoro datang sedang berpikir tentang kebebasan. Setelah mendengar kata bebas, ia mulai berpikir kembali. Menatap hamparan laut yang luas, Laota berharap masalahnya yang lama dibuang ke laut tidak kembali terseret ombak.
“Jegoro. Percayakah nanda ada ngamu yang bisa menaklukkan air itu?“
“Laut nanda maksud? Takluk bagaimana?“
“Wigta hanya tahu ngamu Ngali Barat dan Timur. Percayakah nanda ada ngamu selain wigta yang ada di kratan ini?“
Jegoro diam sejenak mendengar pertanyaan itu. Lalu berkata, “Percaya.“
“Mudah kali.“
“Di kratan terlarang ada kemprung. Iak tahu apa ada ngamu di sana. Tapi jika ditanya apa sia percaya, tentu sia bilang percaya.“
“Iak ragu?“
“Iak.“
“Kalau begitu terakhir. Percayakah nanda bila sia dapat jalan di atas laut tanpa tenggelam?“
Suku Ngali tidak terlalu menjamah sumber daya laut. Mata pencaharian mereka lebih banyak bertani, berkebun, dan berternak (berlembu). Makanan pokoknya adalah padi, dan ternak yang paling banyak berkeliar adalah sapi dan kambing. Karena ini adalah pulau kecil dan penduduk yang berpemikiran sempit, maka setiap hari hanyalah itu-itu saja.
Selain di kratan terlarang, Jegoro pernah penasaran dengan rasa air di laut yang asin. Setelah berenang lama, dia harus berendam lama lagi di air payau karena kulitnya gatal-gatal. Meskipun begitu dia tidak menutup hal-hal baru lainnya, dan menjawab ....
“Percaya.“
KAMU SEDANG MEMBACA
Suku yang Hilang
Historical FictionIndonesia adalah negara besar yang terdiri dari sebaran ribuan pulau. Sudah bukan hal yang tabu untuk negara seperti ini menyimpan keberagaman suku dan budaya. Indonesia sudah kaya raya, hanya dengan manusianya, yang sudah tertulis dan tercatat di s...