Jeratan Adat

143 8 0
                                    

Akhirnya mereka pulang tanpa membawa buah tangan apapun. Beruntung mereka sampai tepat waktu. Obor di desa sudah menyala, langit merah sebentar lagi padam. Dalam perjalanan menuju rumah, mereka bertemu Laota.

“Pulang dari manakah, ito?“ sapa Laota.

“Jalan-jalan di hutan,“ jawab Jegoro.

“Kenapa nanda iak ajak sia?“

“Sibuk tadi nanda. Iak sempat waktu sia bicara. Nanti sia cerita bila waktu luang.“

Oit, jangan lupa.”

Masuk pintu rumah. Cadas, bapak mereka siap dengan lidi panjang. Setelah menimbang-nimbang keputusan, adik-adiknya dihukum tiga kali terlebih dahulu. Sedangkan Jegoro masih tinggal dan dapat lima kali lipat.

“Ampun, Yaya. Janji iak pulang malam lagi.“

“Janji, janji. Sudah berapa kali nanda janji. Ingakari teruslah. Iak dapat dewasa, nanda. Iak dapat jadi ngamu, nanda. Ingat umur nanda, Jegoro. Lihat Saliya sekarang, sudah dewasa, mau jadi pini.“

Aka noya mau kawin?“ Jegoro terkejut.

“Itulah, nanda. Tahu main, iak tahu dewasa.“

“Adu-du-duuh ...!“

Jegoro menggosok pantatnya yang memerah. Dia memasuki pintu kamar dan bergumam, “nasib baik iak bengkak”. Jegoro penasaran dengan keadaan kakaknya. Suara ketukan pintu memantul ke seisi rumah. Tak lama, Saliya membuka pintu.

“Kenapa nanda, Jegoro?”

Aka noya, benarkah aka noya mau kawin?“

Jah, lah,“ Saliya tampak sedih. “Tadi yaya beri tahu seisi desa kalau sia mau kawin. Sia juga baru dengar saat itu juga. Katanya, besok ada utusan tunangan yang mau kemari melamar sia.“

“Suku sebelah? Ngali Timur?“

“Pastilah. Sudah takdir aka buat jadi pini Ngali Timur. Nanti nanda juga akan dapat pini dari Ngali Timur. Iak usah risau masalah kawin. Beruntunglah wigta jadi anak wali suku.”

Meskipun berkata beruntung, Saliya terlihat sangat menderita. Dilihat dari manapun, dia tidak setuju dengan pertunangan itu. Meskipun sudah adat dan sudah tahu dari kecil, dia tidak suka dijodohkan. Saudaranya, Jegoro, pasti sudah tahu dengan sekali lihat.
Jegoro mau menolak pernyataan kakaknya tersebut, tetapi ....

“Tidurlah nanda sekarang, Jegoro.“

Jegoro lari menghindari lidi dari belakangnya.

Suku yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang