Mengangkat kepala dari air. Bijaka setelah mandi memakai wewangian dari campuran tiga kembang. Memakai pakaian rapi, lalu ke luar untuk sarapan. Di depan rumah masih sedikit orang yang bangun. Maklum, Bijaka bangun lebih pagi dari biasanya.
“Semangat kali, nanda, to.”
Yang menyapanya adalah pengawal kemarin yang menemaninya melamar, Gahayu.
“Jah, hari ini bakal ramai kali.”
“Pastilah begitu. Karyan sama-sama anak pertama. Sudah lama dari generasi sebelumnya turun tangan. Sekarang generasi baru akan tumbuh.“
“Iak secepat itulah. Yaya masih muda untuk turun tahta. Sia baru akan jadi wali setelah cukup umur.”
“Suka hati nanda, lah. Tapi ingatlah, Bijaka. Setelah nanda menikah, nanda harus selalu siap untuk takdir yang menunggu. Bijak-bijaklah dalam membuat keputusan, seperti nama yang diwariskan wali desa.“
“Sekarang pun sia sudah siap.“
Setelah makan dan persiapan Bijaka kembali ke kamarnya. Dia merasa ada sentuhan terakhir yang hilang. Dan saat menggerakkan pergelangan tangannya sendiri, dia ingat dengan pemberian bapaknya. Sampitnya tidak ditemukan dimana-mana. Akhirnya dia agak telat untuk keluar. Membuat para orang menunggu.
“Aka sito, aka sito!”
Adik laki-lakinya, Pujar, masuk rumah dengan tergesa berteriak.
“Tunggulah sekejap. Sia sedang cari barang sia yang hilang.“
“Yaya cakap cepat ke jembatan. Jangan pikir yang lain, ayo berangkat.”
Bijaka menyerah mencari dan lebih memntingkan perintah bapaknya. Dia sudah siap apabila harus menerima hukuman akibat kelalaian menghilangkannya. Sesampainya di sana semua orang sudah berkumpul. Selepas melewati kerumunan, dia ada di depan menemui bapaknya.
“Yaya, maafkan sia. Sia hilangkan sampit pemberian yaya. Sudah sia cari dimana-mana tetapi iak ada.”
Parinta sama sekali tidak merespon omongan Bijaka. Matanya selalu tertuju ke barat melihat suku seberang yang melihat ke timur. Suasana tegang akan perang. Mereka berhadapan melihat yang sama.
Jembatan sudah runtuh. Dari ujung ke ujung, hilang. Dengan tanda yang masih menancap di tanah barat, sampit milik Parinta. Cadas tidak tahu jika itu sudah diwariskan dan dicuri. Karena itu kesalahpahaman ini berlanjut.
Bijaka tidak perlu repot mencari lagi ataupun merebut. Setelah melumuri darah dari telapak tangannya, sampit itu dilempar kembali oleh Cadas. Itu adalah tanda darah oleh suku Ngali. Dimana berlumurnya darah dari satu suku adalah perpisahan. Parinta paham akan hal itu, dia melakukan hal yang sama dengan tangan kirinya.
Masalah ini seharusnya diakhiri dengan perang. Kedua pihak merasa dipermalukan. Ini bukan kecelakaan atau semacamnya, mereka tidak bermaksud berkompromi pada seterusnya. Hubungan mereka kini putus, dengan dua tetes darah dari pemimpin.
Parinta melempar sampit ke jurang. Dengan ini, hari kawin yang dinanti kedua desa gagal. Mereka tidak akan berhubungan atau mempertahankan tradisinya. Bijaka melihat Saliya di tanah seberang. Calon istrinya itu meringkuk lutut dan menangis. Apa itu tangisan senang atau sedih, tidak ada yang tahu. Yang pasti air mata itu yang bisa membuat perubahan sedrastis ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suku yang Hilang
Historical FictionIndonesia adalah negara besar yang terdiri dari sebaran ribuan pulau. Sudah bukan hal yang tabu untuk negara seperti ini menyimpan keberagaman suku dan budaya. Indonesia sudah kaya raya, hanya dengan manusianya, yang sudah tertulis dan tercatat di s...