Suara batuk terdengar dari dalam kamar. Bijaka segera masuk untuk memeriksa keadaan bapaknya. Dengan tangan menutupi mulut, Parinta mengeluarkan banyak darah.
“Yaya, mohon bersabar, yaya.“
Bijaka segera membersihkan tangan bapaknya dan memberinya minum. Keadaannya makin lama makin memburuk. Pertama batuk biasa, lagu berdahak, setelah itu muntah-muntah, sekarang batuk darah.
“Jangan baring dulu, yaya. Biar air itu mengalir dahulu.“
“Bagaimana keadaannya?“
“Sudah sia carikan tabib untuk mengobati penyakit, yaya.”
“Iak. Bagaimana keadaan pini nanda?”
“Iak perlu risau pasal itu. Noya lebih bugar dari yaya.“
“Baguslah. Sia sebenarnya agak risau menyuruh nanda menikah lagi. Belum pernah ada yang melanggar tradisi dari leluhur. Kalau terjadi apa-apa, baik sia yang dikorbankan daripada cucu sia.“
“Ceplah, yaya. Tenggorokan yaya pasti sakit. Jangan banyak cakap.”
Bijaka sebelumnya pernah menegaskan apa saja yang terjadi, akan diterima dengan lapang dada. Tapi saat hatinya melemah, Bijaka tidak siap untuk melepaskan kepergian bapaknya. Menurut atau tidak terhadap perintah bapaknya, dia akan depresi karena rasa bersalah.
“Andai saja dulu sia iak kawin waktu itu, yaya pasti sekarang masih sehat.”
“Nanda iak salah, Bijaka. Rekta yang buat pasal untuk iak berurusan lagi dengan wigta.“
“Sia lalai, yaya. Bisa kecolongan benda sepenting itu. Malu sia.”
“Kalau rekta memang berniat buat ulah. Seadil apapun nanda, akan selalu disalahkan rekta.“
Suara ketukan pintu dari luar.
“Langsung masuk,“ jawab Bijaka.
“Salam, wali desa. Sia sudah dapat ngamunya,“ Gahayu masuk dengan membawa orang.
“Salam, wali desa. Mohon permisi untuk periksa.“
Bijaka segera menepi. Tabib itu langsung memeriksa keadaan Parinta. Bijaka dan Gahayu memperhatikan dengan seksama perbuatan tabib. Parinta agak kesakitan saat tabib itu memeriksa bagian perut, pinggul dan kakinya. Sebelumnya yang sakit parah adalah dadanya, bisa dikatakan kalau jantungnya melemah.
Setelah mendiagnosa, tabib itu segera meramu obat dari tumbuh-tumbuhan yang dibawanya. Dalam diam, dia tidak menanyai apapun pada pasiennya ataupun pada Bijaka. Setelah selesai, dia meminumkan obatnya pada Parinta lalu membiarkan dia istirahat. Menyuruh dua lainnya keluar, dia baru angkat bicara.
“Beri sito ramuan ini. Itu akan meringankan gejalanya.”
“Sakit apa yang diderita yaya sia?”
“Ada kode etik untuk tabib iak terlalu banyak bicara pada pasiennya. Tapi kali ini sia akan beri tahu karyan, dengan syarat iak diberitahu pada sito.“
Bijaka dan Gahayu setuju dengan syaratnya.
“Ini mungkin agak ditakuti. Penyakit ini agaknya berasal dari dunia gaib. Atau mungkin guna-guna dari ngamu lain.”
“Guna-guna?”
Jika benar ada orang yang menggunakan kekuatan gaib untuk mencelakai wali desa, maka suku Ngali Barat adalah jawaban yang paling tepat. Tidak perlu mencari alasan lain lagi dan tidak ada keraguan.
“Sia beri tahu rahasia desa. Ini dari wangsit yang sia lihat semalam. Leluhur marah akan perbuatan wigta. Memutus jembatan, iak berhubungan dengan saudara, tercampurnya darah bangsawan Ngali, dan keluarnya suku Ngali dari tempatnya.“
“Apa itu berarti keputusan sia untuk kawin ialah salah?“
“Agaknya. Tapi jangan berpikir untuk kau mentalak pini nanda. Yaya nanda iak akan hidup jika tahu pasal itu.“
“Tabib, sia iak tahu makna yang terakhir. Kratan yang ada hanyalah tempat ini, apa ada ngamu yang berani menyeberangi kratan terlarang?” tanya Gahayu.
“Iak, kratan terlarang ialah bagian dari pulau. Ada ngamu yang mau menapaki laut dan keluar dari tempat suku Ngali seharusnya. Ngali Barat sudah membuat tumpukan papan untuk menyeberangi air. Itu yang sia lihat di wangsit, mimpi dari peringatan leluhur.”
Meskipun sudah mendapat wangsit seperti itu, mecegah Ngali Barat adalah tidak mungkin. Sudah tidak ada jalan untuk mereka berhubungan. Tapi jika banyak hal baru yang melanggar hal lama, bisa-bisa terjadi kerusakan dan bencana.
“Kesimpulan yang bisa sia tarik adalah dua suku iak dapat hidup bersama lagi. Garis keturunan Ngali harus dijaga. Karena itu, di akhir mimpi, sia melihat nanda, wali desa,“ tabib menunjuk Bijaka. “Menggorok kepala Jegoro dengan sampit yang dulu dicurinya.“
“Jegoro ... anak wali desa Cadas yang ternyata mencuri sampit sia?”
“Itulah yang sia tahu dari hubungan batin dengan leluhur. Oit, salam pamit, wali desa.”
Tabib segera pergi meninggalkan mereka berdua. Bersama juga dengan pemikiran memusuhi saudara pulaunya, Ngali Barat.
“Bagimana menurut nanda, Gahayu?”
“Wigta harus mengakhiri riwayat Ngali Barat. Bila iak, pini sia penyakitnya iak akan sembuh, juga wali desa Parinta. Jika wigta iak cepat-cepat, bisa-bisa bayi dalam kandungan pini nanda iak lahir.”
Gahayu mengaitkan semua wabah penyakit yang ada di desa dengan kutukan itu. Leluhur tidak merestui apabila ada perpecahan keturunan di Ngali. Salah satu harus hidup dan yang lainnya harus mati. Pengorbanan seperti itu yang dibutuhkan.
“Oitlah, wigta siapkan penyerangan ke Ngali Barat.“
KAMU SEDANG MEMBACA
Suku yang Hilang
Historical FictionIndonesia adalah negara besar yang terdiri dari sebaran ribuan pulau. Sudah bukan hal yang tabu untuk negara seperti ini menyimpan keberagaman suku dan budaya. Indonesia sudah kaya raya, hanya dengan manusianya, yang sudah tertulis dan tercatat di s...