Kembalian di Kapal

37 10 0
                                    

“Sudah berakhir, jah.“

Jah, sudah berakhir.“

Dua kata sedih itu bersahutan dari mulut Laota dan Samu. Samu dengan sedih menangisi kepergian bapak dan kedua saudaranya. Laota dengan tegap menutup mata, lalu mengunci kemudi. Dia mendekati pundak Samu.

Para wanita yang dibawanya di atas kapal dan anak-anak, semuanya menangis karena hasil peperangan ini. Itu sudah diduga dan dipercayakan kepada Laota dan Samu. Masa depan yang akan datang ....

“Apa benar masa depan itu ada?“ Samu menanyakan itu kepada dirinya sendiri. Dengan bersuara kecil, hanya Laota yang dapat mendengarnya.

Lalu Laota menjawab, “Iak ada.”

Menghentikan tangisannya, Samu menatap dalam mata Laota.

Iak ada,” ulang Laota. “Sudah sia bilang bahwa kehidupan suku Ngali akan berakhir hari ini.”

“Apa maksud nanda? Wigta sudah berhasil keluar dari pulau itu. Apa setelah ini wigta iak selamat? Masa depan iak ada bagi wigta?“

“Bukan wigta, tapi kita. Bukan nanda, tapi kamu. Bukan sia, tapi aku.“

Laota menebas tangan Samu. Dengan sekejap, tangan kanan Samu putus dari bahunya. Dia menjerit kesakitan. Di atas laut dan kapal yang diliputi kesedihan, ada hal yang lebih dalam terjadi.

“Kenapa nanda … Laota...?“

“Karena aku membenci kalian.”

“Siapa nanda sebenarnya ...?“

“Aku adalah Ambuhi.“

Samu memegangi bahunya yang hanya bersisa daging dan darah. Dia sebisa mungkin menghentikan darahnya banyak keluar agar tetap hidup. Air matanya mengalir dua kali derasnya. Tiga kali ditambah beban pengkhianatan yang kini menamparnya.

“Aku sebenarnya bukan bagian dari kalian. Bukan dari suku Ngali Barat ataupun Ngali Timur. Wali desa Cadas sudah memberiku nama dari tempatku berasal. Laota diambil dari kata laut. Sejujurnya aku tidak membencinya. Tetapi laut adalah tempat kelam di mana kebencianku memuncak.“

“....“

“Ambuhi, nama pemberian bapakku yang adalah seorang dokter. Dia mengajakarkanku ilmu kedokteran saat sedang praktek. Tanaman yang berada di pulau ini sangat cocok untuk membuat obat-obatan dan juga racun. Bermain di sini cukup lama akan membuatku gila.“

“Kenapa nanda melakukan ini ...?“ Samu dengan sekarat mencoba berkata.

“Sudah kubilang aku membenci kalian. Semua yang ada di dunia ini, alih-alih di pulau Ngali, adalah kebohongan. Hanya dengan melihat aku sudah muak. Kalian mempercayai mentah-mentah bualan yang kuucapkan."

“Tapi nanda benar mewujudkan semuanya.“

“Ya. Benar. Aku mewujudkan semuanya. Termasuk hancurnya suku kalian. Hari ini adalah binasanya semua suku Ngali. Yang di dalam pulau dan juga yang mencoba kabur dari takdirnya. Kalian pikir aku penyelamat kalian? Dewa kalian? Jangan membuatku tertawa. Bahkan wali desa kalian sama bodohnya mempercayakan rakyatnya kepadaku.“

Bermain-main menjadi iblis akan menjadikanmu iblis. Bermain-main menjadi penyelamat akan menjadikanmu penyelamat.

“Bahkan kalian juga menaati peraturan yang tidak jelas dan abal-abal dari leluhur kalian. Karena itu juga kalian membuka jalan bagi pengkhianat sepertiku. Kratan terlarang, tidak ada apa-apanya selain tanah vulkanik yang sangat subur. Kalian mungkin akan mati jika ke sana, karena ketakutan itu kalian memakai kata terlarang dan keramat. Pengecut.“

“Jadi itu rumah milik nanda?“

“Benar juga. Dari sekian banyak orang, keturunan wali desa adalah yang paling buas dan pemberani. Aku tarik perkataanku tentang wali desa Cadas dan Jegoro.“

Itu tidak mengubah apapun. Mereka yang berjuang sampai mati adalah pahlawan. Walaupun mati karena dibodohi, mereka tetaplah Ksatria. Prajurit yang mati karena perintah konyol adalah wajar.

“Kuberi tahu kalian fakta yang menyedihkan. Semua penyakit yang menyebar di desa akhir-akhri ini adalah karena aku menuang racun di mata air. Aku yang mencuci otak Ngali Timur yang bodohnya sama seperti kalian untuk menyerang Ngali Barat. Setelah mereka puas berperang, buaya akan naik ke permukaan melalui tanah yang kurendahkan. Semua tidak akan selamat, suami dan anak kalian pasti sudah mati sekarang. Dan yang terakhir, aku akan mengakhiri kalian di sini.“

Ambuhi memutar kemudi dengan cepat searah jarum jam. Sampai-sampai semua orang hampir terjatuh dan mengeluarkan isi perutnya. Kebanyakan yang berada di sini sekarang adalah orang sakit, ketika mendapat sedikit guncangan mereka akan semakin dekat dengan ajal.

Mengangkat tinggi sampit miliknya, Ambuhi membunuh semua orang di kapal. Satu persatu, puluhan warga tumbang berceceran darah. Samu tidak bisa mengatur napasnya melihat pemandangan seperti ini. Sangat sesak, kenapa dia dibiarkan hidup untuk melihat sukunya binasa.

Ambuhi belum selesai hanya menyayat perut dan leher mereka. Bahkan membuangnya ke laut lepas seperti memberi makan ikan. Tidak ada yang menghentikannya, dia menggila dalam teriakan histeris bertemu pencabut nyawa. Setelah membunuh korban terakhir, dia mengayunkan sampitnya ke samping paha membuang sisa darah.

“Katanya, bertemunya dua darah suku Ngali adalah tanda perpisahan.“

Mengatakan hal yang seram, Ambuhi mendekati Samu. Tidak ada yang harus dipertahankan, Samu tidak memiliki niat untuk hidup. Di saat terakhir dia menanyakan.

“Apa itu ... sampit yang sama yang digunakan yaya untuk melukai tangannya?“

Samu berkata hal yang perlu Ambuhi memutar otak. Yang dimaksud adalah saat perpisahan Ngali Barat dan Timur karena konflik jembatan dan pernikahan.

“Ya, benar. Tidak sengaja aku menemukan ini menancap di salah satu tubuh buaya di dasar jurang. Aku dan kakakmu mencuri ini untuk mengakhiri hubungan kalian. Dengan begitu, membantai kalian akan lebih mudah.“

Aka sito iak akan pernah bersengkongkol dengan nanda.“

“Sayang sekali. Kalian saudara satu pulau telah terlanjur percaya denganku. Maka dari itu, korban dan pelaku ... akan saling membunuh untuk bertahan hidup.“

Ambuhi melempar sampit itu ke Samu. Bersiap dengan kuda-kuda di sisi lain, Ambuhi menunggu Samu mengambil sampit itu. Hanya satu kesempatan dan satu tangan, Ambuhi memberi peluang terakhir pada Samu.

Mengambilnya, Samu berdiri dengan kaku dan menghunuskannya. Wajahnya penuh dengan emosi yang bercampur. Dengan satu tangan, keseimbangannya akan buruk untuk menyerang. Samu mengangkat tangan kirinya ke atas bersama sampitnya.

Pertarungan dimulai. Dengan singkat, Ambuhi berlari menyerang. Tangannya lurus tanpa celah dan beramaksud menerobos dada dan jantung Samu. Sementara Samu hanya diam, dengan posisi yang sama. Semakin mendekat, serangan telak dilancarkan.

Samu mendobrak bagian tengah kapal bersama dengan kepala Ambuhi yang tertancap sampit. Itu adalah ayunan dari segenap kekuatan terakhir Samu. Pertarungan singkat itu selesai. Dengan kabin kapal sebagai korban, dan mayat-mayat yang berjatuhan ke bawah lubang. Tidak lama kapal itu akan karam.

“Saling bunuh .... Itu yang nanda ucap. Tapi nanda sebenarnya hanya ingin kematian tenang. Nanda takut bunuh diri, karena itu nanda membuat sia membunuh nanda. Laota, iak, Ambuhi, kalau memang setakut itu nanda pasal kematian .... Wigta satu pulau akan menemani nanda.“

Suku yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang