Air Penggerak

45 7 0
                                    

Dua hari menjelang. Saliya masih menutup diri di kamar. Seharusnya yang tidak boleh tampak olehnya adalah calon suaminya, bukan keluarganya. Juga tidak makan dari hari kemarin.

Maiya, sudah makankah aka?“

Ibunya menggeleng. Tanpa menjawab, Jegoro sudah tahu jawabannya. Makanan di pintu tidak pernah tersentuh atau bergerak sedikitpun. Dia mencoba membujuk dan menghibur kakaknya, tapi tidak berhasil.

“Samu, Andim,“ Jegoro memanggil adik-adiknya yang sedang bermain batu di depan rumah.

“Kenapa, aka sito? Wigta ke kratan lagi, kah?“

Samu menyahuti. Sebenarnya mereka berdua juga sedikit takut bila dibawa ke sana lagi.

Iak, jangan dulu. Sebentar lagi hari kawin aka noya. Para ngamu sibuk urusan masing-masing.”

Bercakap begitu, Jegoro ikut bermain bersama mereka. Dia disuruh menunggu oleh bapaknya. Menyusun tumpukan batu menjadi tinggi, permainan dimulai. Tiga anak itu berlari memutarinya. Setelah lagunya habis, siapa yang menendang batunya duluan dia yang menang.

Karyan, iak sedihkah dengan keadaan aka noya?“

Yaya cakap, aka noya iak akan pergi jauh. Aka noya tetaplah Aka noya wigta. Sewaktu-waktu, wigta bisa kunjunglah ke desa seberang. Nanti bisa tambah teman.“

Aka noya iak pernah sesedih ini. Jika aka terus murung, mana bisa wigta gelak terus bersama.“

Yaya cakap, itu cara aka jadi dewasa, jadi ngamu. Sudah biasalah. Ngali Timur ialah saudara wigta, darah wigta sama semua.”

Hanya Jegoro yang tidak bisa terima keadaan ini. Adik, orang tua, orang desanya sendiri maupun desa seberang, tidak ada yang mendukungnya. Sekilas, Jegoro frustasi dengan ini. Hati kakaknya dikorbankan.

Semua darah yang dimiliki orang Ngali adalah sama. Berasal dari leluhur yang sama dan tinggal di tempat yang sama. Tidak ada percampuran karena tidak pernah ada orang luar datang dan orang Ngali keluar. Masih murni dan satu. Karena itu, saat gempa membelah mereka jadi dua, mereka kaget dan merasa dihukum oleh alam.

“Jegoro sini, nanda,“ Cadas memanggil. “Bawa ini bersama nanda berlembu. Gosok-gosoklah di pinggir sungai dengan air. Jangan sampai hanyut atau hilang. Selepas itu bawa balik pulang. Mengerti, nanda?“

Jah, yaya.“

Yang diberikan oleh bapaknya itu adalah batu kecil, batu untuk cincin kawin. Berikalu-kilau terkena sinar matahari, api, dan juga bulan. Sangat indah bila sudah masuk kelingking. Tetapi sayangnya Jegoro tidak bisa senang dengan hal itu. Akhirnya dia berangkat pamit sambil mengerek tali kekang.

Kali ini Jegoro ambil rumput yang dekat dengan sungai, seperti perintah bapaknya. Mengajak Laota, masing-masing mereka menggosok satu dari batunya. Sangat keras untuk bisa membuatnya semengkilap mungkin.

“Jadi macam itu kegalauan nanda,“ buka Laota.

“Apa lebih baik sia cakap pada yaya untuk dibatalkan?“

“Bicara apa nanda ini, Jegoro? Mana mungkin yaya nanda, ngamu wali desa bisa batalkan tradisi sebesar itu.”

Jah, benar juga ….”

Tidak disangka Laota juga tidak mendukung Jegoro.

“… iak ada cara, kah?”

“Kalau mau batalkan adat sebesar ini, nanda harus cukup cerdik buat nipu para ngamu.”

“…”

Nanda, harus punya hati besar untuk tujuan yang besar. Punyakah, sobat Jegoro?“

“Kalau sia bilang sia punya, percayakah, nanda?“

Sia iak macam para ngamu yang mudah percaya. Tapi kalau menyangkut sobat sia, tentu sia percaya nanda punya. Karena itu, sia bersedia membantu nanda.”

“Membantu?”

Yang diamksud Laota bukan membantu dalam hal kecil seperti sekarang ini. Dia berkata tentang hal yang lebih besar. Dan tidak ada maksud lain yang ada di percakapan ini selain ....

“Menipu semua ngamu, tentu saja.”

“Bagaimana caranya? Adakah cara agar aka noya iak jadi kawin?”

Iak hanya itu. Nanda dan ito-ito nanda juga iak akan kawin dengan suku seberang. Iak masalah, kah, nanda?“

Iak, selama aka noya bisa senang lagi.“

“Kalau begitu, siapkan sampit. Wigta pergi esok malam.“

Suku yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang