Januari #10

5K 783 167
                                    

Jakarta, Maret, 2009

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jakarta, Maret, 2009

Hampir dua bulan sejak pertama kali Aruni membawa Jingga ke panti asuhan, tapi sampai saat ini, anak itu masih sulit didekati. Sebelumnya Jingga adalah anak yang ceria. Dia suka bermain dengan siapa saja. Temannya banyak. Saking banyaknya, Lentera sampai sering protes karena tidak hafal rupa dan nama teman adiknya satu per satu.

Namun sejak hari tu, Jingga seolah kehilangan kilau emasnya. Hidupnya tanpa warna, tidak seperti dulu saat semua masih ada. Anak-anak panti selalu berusaha mengajak Jingga bermain keluar, bahkan memperlihatkan mainan yang beragam, tapi Jingga tetap lebih suka berdiam diri di kamar. Bermain sendirian dengan barang-barang yang kakaknya tinggalkan. Seperti sepatu yang waktu itu Lentera pakaikan di kaki Jingga, atau sarung tangan bergambar yang sering Lentera kenakan saat bepergian bersama ia dan bunda.

Jika sudah begitu, Jingga betah menghabiskan seharian penuh hanya untuk mengenang bagaimana hari-harinya bersama Lentera dulu. Sambil diam-diam berharap agar kakaknya segera datang. Karena bahkan sampai dua bulan, Jingga masih sendirian di sana. Menunggu, tanpa tahu berapa lama lagi ia harus melakukan itu.

Aruni juga tidak henti-hentinya membujuk Jingga agar mau bercerita. Setidaknya, mengatakan apa saja yang dia inginkan selama berada di sana. Apa yang ia suka dan apa yang tidak. Apa yang kira-kira ia butuhkan, dan apa saja yang bisa membuatnya senang. Tapi bahkan setelah Aruni mencoba dengan berbagai cara, anak itu tetap tidak mau banyak bicara. Dia juga tidak pernah meminta apa-apa.

Setiap ditanya mau apa, Jingga hanya bilang kalau dia mau kakaknya. Setiap ditanya butuh apa, Jingga bilang butuh kakaknya. Dan Aruni tidak bisa melakukan apa-apa selain tersenyum sambil mengatakan kalau di sini, Jingga juga punya banyak kakak.

Lalu Jingga hanya akan diam setelahnya. Tidak menjawab. Karena, ya, memang menurutnya percuma. Dia tidak ingin kakak lain selain kakaknya. Lentera. Dan kalau sudah seperti itu, Aruni tidak bisa memaksa. Dia biarkan Jingga melakukan apapun yang ia suka. Selagi itu bisa membuatnya merasa nyaman, Aruni tidak keberatan.

Sampai suatu hari, tepat di suatu siang yang mendung, untuk pertama kali, ada orang yang berani mengetuk dinding tak kasat mata yang Jingga bangun tinggi.

Jingga sedang duduk di atas ranjang sambil memainkan permen pemberian Aruni saat itu. Saat tiba-tiba dia mendengar kaca jendela kamarnya diketuk pelan. Jingga menoleh, tapi tidak mendapati siapapun di sana. Dia hanya menghela napas dan kembali memainkan permennya. Tapi kemudian suara itu terdengar lagi. Jingga menoleh dan sama seperti tadi, dia tidak melihat siapa-siapa di balik kaca jendela yang tirainya dibiarkan terbuka.

Kesal, Jingga akhirnya meletekkan permennya lalu bangkit dari ranjang dan berjalan mendekat. Matanya mengamati sekitar dari balik kaca, sampai tiba-tiba wajah seseorang muncul tepat di hadapannya, membuatnya terlonjak.

"Waaa!" Anak itu muncul dari bawah dengan kedua tangan yang ia naikkan ke sisi wajah, sambil memasang ekspresi konyol yang seketika membuat Jingga mundur dua langkah, saking kagetnya. Tapi kemudian anak itu tertawa sambil mengetuk kaca di depannya beberapa kali.

JanuariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang