Epilog

8.7K 876 269
                                    

Jika sepi adalah satu dari sekian misteri yang tak akan pernah terpecahkan, maka Janu satunya-satunya yang akan selalu paham

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jika sepi adalah satu dari sekian misteri yang tak akan pernah terpecahkan, maka Janu satunya-satunya yang akan selalu paham. Sudah terlalu biasa, ia bahkan tahu betul bagaimana sunyi bekerja dan menikamnya dalam kesendirian.

Cowok itu pernah hidup lama tanpa pegangan. Tanpa orang yang dapat ia jadikan rumah untuk pulang. Ia pernah menghabiskan sepuluh tahunnya tanpa Lentera, jadi ketika sekali lagi ia dihadapkan pada sepi, ia sudah kelewat familiar. Janu sudah hafal betul bagaimana rasanya.

Dulu, sebelum takdir mengubah garis hidupnya, Janu pernah merasa begitu sempurna. Keluarganya bahagia. Ia punya Ayah yang begitu luar biasa, Bunda yang kelewat menyayangi anak-anaknya, juga kakak yang dapat selalu ia andalkan. Sebelum akhirnya yang ia miliki meninggalkannya satu per satu. Mulai dari Ayah, Bunda, lalu... Lentera.

Terimakasih kepada waktu yang membuatnya terbiasa dengan kehilangan. Berkatnya Janu bisa tetap bertahan sampai sekarang.

Cowok itu tersadar dari pikirannya dan mengerjap pelan. Aroma mi kuah di hadapannya menguar, membuatnya kembali mengingat rasa lapar yang menyiksanya sejak tadi siang. Perlahan, tangannya mulai mengangkat sendok dan mengaduk mi di dalam mangkuk. Dia meniup-niup kuahnya sebentar, sebelum membiarkan cairan itu memeluk kerongkongan.

Hangat. Tapi Janu bahkan tidak merasakan. Semua hambar, tepat ketika ia kembali mengangkat pandangan dan terpaku pada kursi kosong di hadapan.

Seharusnya Janu tidak sendirian.

Cowok itu tersenyum miris kemudian menggeleng ringan, menyadari pikirannya yang mulai keterlaluan. Sebelum dia kembali mengambil satu sendok penuh mi dari dalam mangkuk.

"Selamat makan, kak.." katanya.

Setelahnya kembali hening. Janu makan dalam diam, berusaha menikmati meski ia tak pernah nyaman dengan situasi seperti ini. Ia terbiasa dengan sepi, tapi benci sendiri.

Sampai kemudian suara ketukan pintu memecah fokusnya. Janu berhenti, tapi tidak beranjak dari kursi. Ia masih menunggu, karena jika benar itu Satya, ia tentu tidak ingin repot-repot menghampiri ke sana. Lagipula sejak kapan Satya tahu tata krama keluar-masuk rumahnya.

Namun, hingga detik tenggelam menjadi menit, pintu itu masih tertutup sempurna. Tidak ada wajah Satya menyembul dari sana, atau sekadar teriakannya yang menggema. Janu mengernyit sebentar, sebelum memutuskan bangkit dari tempat ia duduk, meninggalkan mi nya bersama angin sore yang mungkin akan membuat kuahnya segera dingin.

Langkahnya yang masih sedikit pincang ia bawa menuju pintu, sambil berpegangan pada dinding agar tak terjatuh. Namun, tepat tiga langkah sebelum ia benar-benar mencapai tujuannya, pintu itu terbuka begitu saja, kemudian sosok Satya muncul dari sana dengan wajah terkejut.

"Ngapain? Gue bisa buka pintu sendiri." ucapnya.

"Lha terus ngapain barusan pake ngetuk? Udah gitu nggak masuk-masuk lagi. Gue pikir orang lain."

JanuariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang