Januari #19

5.1K 790 338
                                    

Gatra, berkali-kali meringis ketika matanya menangkap memar kebiruan di punggung Dikta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gatra, berkali-kali meringis ketika matanya menangkap memar kebiruan di punggung Dikta. Tangannya baru selesai mengobati luka itu, saat samar-samar telinganya menangkap suara gerimis di luar. Dia  menghela napas pelan, sebelum akhirnya menurunkan kembali kaos tipis yang Dikta kenakan.

"Sakit, ya?" tanya Gatra. Pandangannya masih terkunci pada punggung anak itu, sambil diam-diam membayangkan bagaimana Dikta mendapatkan lukanya beberapa saat lalu.

Dikta yang semula duduk memunggungi kakaknya perlahan mengubah posisinya menjadi menghadap lelaki itu. Dia tersenyum, kemudian menggeleng pelan.

"Sekarang udah nggak apa-apa."

Dikta tidak bohong. Dia sekarang sudah baik-baik saja. Dia memang terluka, tapi tidak lebih sakit daripada saat Gatra mengabaikannya. Lagipula, dari awal memang dia yang memulai semuanya. Dia yang menyeret Janu ke tempat itu, dia juga yang menyakiti Janu lebih dahulu, jadi dia tidak bisa sepenuhnya menyalahkan anak itu atas luka yang dia dapatkan sekarang.

Dikta hanya merasa lebih beruntung hari ini karena kakaknya datang tidak pada saat ia memulai perdebatan, atau ketika ia mulai meninggikan suaranya di depan Janu. Dikta cukup bersyukur karena lelaki itu datang tepat waktu. Walau sejujurnya, dalam hati, Dikta merasa seperti ada sesuatu yang menikamnya. Sesuatu yang membuat ia tidak bisa melupakan kejadian itu begitu saja. Dikta tahu ini tidak benar. Dia juga tahu seharusnya dia menjelaskan, bukannya diam. Namun, ego dalam diri anak itu seolah menahannya untuk tetap bungkam. Batinnya seperti menyerukan perintah agar ia tetap seperti sekarang. Biarkan saja Gatra salah paham. Lagipula, bukankah memang seperti ini yang ia inginkan?

"Kalian lagi ngapain tadi? Kenapa bisa sampai kayak gini?"

Pertanyaan selanjutnya dari Gatra berhasil menyentak Dikta. Buru-buru cowok itu mengerjap dan kembali menatap Gatra.

"Nggak ngapa-ngapain, cuma lagi ngobrol aja."

"Kamu nggak mungkin bisa sampai kayak gini kalau nggak ada apa-apa. Jujur, kalian kenapa?"

"Aku nggak bohong, kak. Kita emang nggak ngapa-ngapain. Tadinya aku cuma ngajak dia ngobrol kayak biasa, terus kita ngomongin kakak. Aku juga nggak ngerti kenapa tiba-tiba dia jadi emosional dan nggak jelas gitu."

Dikta menggigit bibirnya setelah kalimatnya selesai. Dia tahu yang dia lakukan ini salah. Hatinya bahkan memberontak, tapi entah mengapa logikanya menolak berhenti. Dikta juga tidak tahu kenapa ia bisa bertindak sampai sejauh ini.

Awalnya, Dikta sempat berpikir untuk mengakhiri semua dan mengatakan pada Gatra kalau Janu tidak melakukan apa-apa padanya. Bahwa yang Gatra saksikan tadi itu tidak seperti yang lekaki itu kira. Dikta ingin bilang bahwa bukan Janu yang menyalakan api di antara mereka.

Namun, ketika ingatannya bergeser pada bagaimana akhir-akhir ini dia kehilangan sosok Gatra, juga bagaimana cara Janu mengambil lelaki itu darinya, saat itu pula naluri Dikta seolah mati rasa. Yang Dikta ketahui hanyalah, karena Janu, ia kehilangan Gatra yang dulu ia punya. Karena Janu, Dikta kehilangan kakaknya. Lalu hari ini skenario takdir tiba-tiba saja berpihak padanya. Takdir seolah mengulurkan tangannya untuk membantu Dikta menjauhkan Janu dari Gatra. Bagaimana Dikta bisa berhenti begitu saja?

JanuariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang