Januari #26

5.5K 754 226
                                    

Lorong panjang dengan dinding-dinding gelap itu masih begitu pekat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lorong panjang dengan dinding-dinding gelap itu masih begitu pekat. Dingin yang memeluk tempat itu juga masih enggan beranjak. Rasanya Janu sudah berjalan begitu jauh, tapi tidak juga menemukan jalan keluar. Di tempat itu, ia sendirian. Tanpa teman.

Sampai kemudian ia bisa melihat cahaya terang dari kejauhan. Semakin Janu diam, semakin cahaya itu mendekat tanpa bisa ia tahan. Lalu tubuh Janu rasanya seperti ditarik ke depan, detik selanjutnya, yang ia lihat adalah langit-langit putih dengan penerangan yang menyilaukan.

Cowok itu mengerjap beberapa kali, berusaha menangkap kesadarannya kembali. Bersamaan dengan itu, suara pintu yang terbuka menggema ke segala sisi. Janu bisa mendengar langkah seseorang, sampai akhirnya wajah familiar itu muncul di hadapannya bersama genggaman hangat yang kemudian Janu rasa.

"Jingga, kakak di sini. Hey! Bisa lihat kakak?"

Sejenak, Janu terpaku pada wajah Gatra. Tatapannya lega, tapi ketika ia merasakan lagi nyeri di sekujur tubuhnya, tiba-tiba saja pandangannya kabur oleh air mata.

"Kamu tidurnya lama banget. Kakak khawatir banget, dek.." ucap Gatra, sembari menciumi tangan Janu dalam genggaman. Matanya berkaca-kaca, lega, ketakutan yang mencekiknya seharian akhirnya lepas ketika adiknya membuka mata.

Gatra ingin menangis, tapi panggilan Janu merebut fokusnya.

"Kakak.."

"Ya, kenapa? Ada yang sakit?"

Janu memandangi Gatra sebentar, sebelum kembali berujar pelan.
"Kenapa mamanya kakak jahat banget?"

Seperti ada belati tak kasatmata yang menancap di dadanya, Gatra terluka saat ujung benda itu menyayatnya. Seketika, sakit yang telah coba lelaki itu pendam pun kembali terbuka. Detik itu rasanya Gatra ingin melupakan kenyataan bahwa ia pernah sangat menghormati seorang Devina.

Jeda itu berlangsung cukup lama sampai Gatra kembali mengeratkan genggamannya pada tangan Janu dan merematnya, berusaha mencari kekuatan untuk dirinya sendiri.

"Dengerin kakak," katanya sembari mengusap pelan puncak kepala Janu ketika mata anak itu mulai berkaca-kaca. "Kakak janji bakal kasih balasan setimpal buat orang yang udah nyakitin kamu. Kamu nggak usah takut. Hidup kakak cuma buat kamu, Jingga. Apapun bakal kakak lakuin supaya kamu tetep aman. Percaya sama kakak, 'kan?"

Janu ingin mengangguk, tapi tidak bisa. Baginya sekarang bukan kematian yang menakutkan, tapi kehilangan orang yang paling ia sayang. Dan di matanya, Devina adalah ancaman paling mengerikan yang pernah ia terima. Sekarang Janu percaya bahwa wanita itu benar-benar bisa melakukan apa saja.

"Aku takut mama kakak bakal nyakitin kakak juga.."

"Asalkan bukan kamu, kakak nggak papa."

Dengan cepat Janu menggeleng dan meremat tangan Gatra yang menggenggamnya.

"Nggak mau! Kakak nggak boleh kenapa-napa cuma demi aku."

"Kamu yang nggak boleh kenapa-napa karena kakak! Kamu nggak tau seberapa penting kamu buat kakak. Kakak nggak sanggup bayangin gimana seandainya kamu luka lebih parah dari ini."

JanuariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang