Januari #21

5.3K 797 298
                                    

Hampir dua jam, tapi ruang itu masih tenang dengan hening yang memeluk nyaman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hampir dua jam, tapi ruang itu masih tenang dengan hening yang memeluk nyaman. Dua orang di sana masih sama-sama bungkam, padahal dari tadi mereka duduk bersisian. Dingin dari luar datang mengusik, namun masih belum cukup membuat keduanya beralih.

Janu sebenarnya ingin memecah sepi itu lebih dulu, tapi saat ia menoleh dan mendapati wajah lelah Gatra di sisinya, niatnya pun urung detik itu juga. Wajah itu menyiratkan duka, tapi Gatra seperti berusaha menyimpannya.

Janu ingin coba-coba menerka, tapi Gatra benar-benar tak terbaca. Bahkan matanya yang selalu bernyawa kali ini seolah tidak memiliki apa-apa. Lelaki itu kosong. Tidak kecewa, tidak marah, tidak pula bahagia. Gatra itu hampa dengan segala rahasia yang dimilikinya. Dan Janu kesulitan mengartikan semua geriknya.

Tapi Janu juga tidak ingin diam lebih lama. Dia tahu ada yang harus mereka bicarakan, ada yang harus Janu katakan, ada pula yang harus ia dengar. Jadi, setelah menarik napas dalam-dalam dan mengubur seluruh keraguannya, perlahan Janu meletakkan perhatiannya hanya pada Gatra. Lalu dengan sangat pelan dia memanggil lelaki itu.

"Kak,"

Gatra masih tidak bereaksi apa-apa. Tatapannya tertuju pada meja di hadapan, namun Janu tahu pikirannya tidak demikian. Kosong di sana tampak nyata dan kali ini Janu bisa sedikit memahaminya. Lelaki itu sedang terluka. Janu bisa merasakannya.

Kilas balik kejadian beberapa jam lalu kembali mengisi benak Janu. Dia ingat bagaimana Gatra melepas semua yang selama ini ia punya lalu meninggalkan Dikta. Janu juga ingat bagaimana api tampak membara di mata Gatra saat tangan kokohnya menarik ia pergi dari sana. Namun, bagaimanapun juga, Janu tahu melepaskan tidak pernah sesederhana itu. Sepuluh tahun lelaki itu hidup sebagai Gatra, tidak akan mudah banginya untuk meninggalkan semua dan kembali hidup sebagai Lentera.

Seperti Janu yang tidak bisa sepenuhnya kembali menjadi Jingga, Gatra pun sama. Tidak akan seutuhnya menjadi Lentera.

"Kakak," panggil Janu sekali lagi.

Gatra akhirnya menoleh hingga matanya bertemu dengan milik Janu, tapi hanya sebentar, sebelum dia kembali menatap ke depan.

Janu meremat kedua tangannya kencang. Tiba-tiba saja matanya terasa panas, bersamaan dengan hadirnya sesak yang menikamnya diam-diam. Janu bersumpah, rasanya sakit sekali melihat kakaknya sekacau sekarang.

"Aku nggak tau gimana perasaan kakak sekarang, aku juga nggak tau kakak baik-baik aja atau malah sebaliknya." Janu memberi jeda sebentar, ia biarkan matanya merekam wajah Gatra dari samping. Sebelum akhirnya ia melanjutkan kalimatnya dengan getar suara yang mati-matian ia tahan.

"Tapi kalau emang sesulit itu ninggalin semua yang kakak punya, kenapa kakak justru milih pergi sama aku?"

Ada kecewa yang coba Janu sampaikan lewat penggalan kalimatnya. Kecewa yang datang setelah ia tahu bahwa Gatra tidak bisa sepenuhnya kembali menjadi Lenteranya. Kecewa karena ia tahu lelaki itu tampak tidak begitu senang kembali bersamanya. Janu menggigit bibir dalamnya kuat, tepat saat mata Gatra kembali beradu dengan miliknya.

JanuariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang