Januari #13

4.6K 720 145
                                    

Daritadi yang Dikta lakukan hanya memandangi dua teman barunya di atas panggung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Daritadi yang Dikta lakukan hanya memandangi dua teman barunya di atas panggung. Sambil sesekali ikut menggumamkan lirik yang Janu bawakan depan sana, atau sekadar menghentak-hentakkan kakinya di atas lantai sejalan dengan irama. Dia bahkan menjadi yang paling keras bertepuk tangan setiap lagu berakhir, sebelum akhirnya kembali larut dalam kesenangannya sendiri ketika melodi yang Janu dan Satya bawakan berganti.

Dikta sudah bertemu Satya. Janu yang memperkenalkan mereka. Dan ternyata, anak itu sama menyenangkannya dengan Janu. Satya juga banyak bicara. Ah, pas sekali. Dikta merasa seperti menemukan makhluk yang satu spesies dengannya.

Fakta lain yang ia suka dari dua anak itu adalah, mereka sama sekali tidak sungkan padanya sekalipun ia adalah adik Gatra. Atasan mereka. Sebaliknya, mereka terlihat begitu hangat padanya. Berkat mereka, sepertinya Dikta mulai merasa nyaman di Jakarta. Dikta jadi suka Jakarta. Karena di sini ada Gatra, Janu dan Satya. Sayang sekali liburannya hanya dua pekan saja dan setelahnya dia harus kembali ke Jogja.

Dikta tersentak dari pikirannya saat melodi di depan kembali berganti. Kali ini lebih pelan dan petikan gitar Satya mendominasi. Walau begitu, suara lembut Janu tetap mengisi, membuat Dikta takjub untuk ke sekian kali. Dikta tidak pernah benar-benar menghayati sebuah lagu sampai sedalam ini. Mungkinkah kali ini karena liriknya yang memang bagus, atau justru karena Janu yang membawakannya langsung di depan Dikta? Janu yang pintar sekali meletakkan perasannya di dalam setiap nada yang menguar di udara?

Masih dari sudut yang sama, persis di dekat tangga menuju ruangan Gatra, Dikta kembali mengulas senyumnya. Sampai tepukan ringan di pundak kirinya membuat anak itu terperanjat sebentar. Dengan cepat Dikta menoleh, hingga matanya menangkap keberadaan sosok tinggi dengan rambut cepak yang pertama kali ia kenal tiga tahun lalu. Itu Nalu. Orang yang sudah ia percaya seperti kakaknya sendiri.

"Kak Nalu!" Sepasang mata Dikta berbinar saat menyadari lelaki itu datang. Senyumnya melebar dan kini perhatiannya telah sepenuhnya beralih dari musik di depan.

"Kirain lupa sama gue." kekeh Nalu. Keduanya berpelukan singkat, sebelum kembali berdiri berhadapan dan saling memperhatikan.

"Mana bisa lupa, kecuali kepalaku kepentok tiba-tiba terus akunya amnesia." jawab Dikta. "Lagian kakak kapan datengnya coba? Tiba-tiba udah di sini aja. Ngagetin. Kayak jerawat ih kakak, suka muncul tiba-tiba."

"Cari perumpamaannya bisa yang lain nggak? Masa gue disamain jerawat?"

"Ya 'kan jerawat suka muncul tiba-tiba."

"Perasaan juga suka muncul tiba-tiba."

"Dih, dia malah bawa-bawa perasaan."

Detik selanjutnya, mereka tertawa. Dari dulu, Nalu memang suka Dikta. Di matanya, Dikta itu sosok adik yang manis dan menyenangkan. Jadi wajar setiap keduanya bertemu seperti ini, walau hanya satu tahun sekali, mereka akan banyak bergurau. Kadang-kadang, kalau mereka sedang bertiga dengan Gatra, Dikta bahkan lebih sering bercanda dengan Nalu, lalu membiarkan Gatra sibuk dengan kegiatannya sendiri. Gatra jelas tidak keberatan. Lelaki itu bilang, dia lebih suka Dikta mengekori Nalu daripada harus mengikutinya terus-terusan.

JanuariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang