Januari #12

4.9K 783 151
                                    

Entah bagaimana menjelaskannya, tapi sosok Gatra selalu terlihat luar biasa di mata Janu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Entah bagaimana menjelaskannya, tapi sosok Gatra selalu terlihat luar biasa di mata Janu. Ketika lelaki itu ada, rasanya dunia Janu seperti hanya berputar di sekitarnya saja. Janu suka caranya bicara. Janu suka binar di sepasang matanya ketika bibirnya merangkai kata. Janu suka caranya tertawa. Namun, yang paling Janu suka adalah ketika Gatra menyebut namanya. Rasanya menyenangkan. Cara lelaki itu memanggilnya seperti mengingatkan Janu pada seseorang.

"Minum dulu, Nu."

Suara lelaki itu menyentak Janu. Buru-buru dia mengerjap untuk menangkap kembali fokusnya yang sempat hilang. Dia tersenyum, menatap Gatra yang datang dengan segelas teh hangat lalu meletakannya ke atas meja di hadapan Janu.

"Makasih, kak."

Tadi, ketika Janu sedang berteduh, tiba-tiba saja Gatra datang. Sosoknya muncul di tengah pelukan dingin hujan. Jemarinya yang kokoh terulur di hadapan Janu, lalu membungkus jari-jari kecil milik Janu yang hampir membeku. Lelaki itu menawari Janu untuk pulang bersama dan semudah itu Janu menerima. Akhirnya, di sinilah sekarang mereka berada. Di rumah Gatra, ditemani hujan yang masih setia jatuh di luar sana.

Lelaki itu kembali ke dapur setelah meletakkan tehnya, lalu muncul lagi di hadapan Janu beberapa detik setelahnya. Kali ini ada dua cup mie instan yang lelaki itu bawa. Satu ia berikan pada Janu, satu lagi ia simpan untuk dirinya sendiri.

"Aku kalau lagi males masak atau beli makan, biasanya bikin yang tinggal seduh kayak gini. Kamu nggak papa 'kan makan ginian?"

Janu terkekeh pelan. "Ini makanan pokok aku selama dua tahun, asal kakak tau."

"Serius?"

"Ya gimana, kak.. namanya juga anak cowok, tinggal sendiri. Mau masak nggak bisa, mau jajan boros. Jalan paling gampang ya mie instan." Senyum Janu masih mengembang, suaranya bahkan masih terdengar begitu riang. Padahal di tempatnya, Gatra sudah diam dan menatap Janu dalam. Matanya menyiratkan iba, namun jauh di dalam hatinya, ada kekhawatiran yang tiba-tiba datang.

Janu masih kecil dan harus melewati banyak hal sendirian, tapi anak itu masih bisa tersenyum setiap waktu. Jika itu dirinya, mungkin dia sudah menyerah dari dulu. Gatra benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana sulitnya hidup Janu. Dan anehnya, setiap memikirkan itu, tiba-tiba saja muncul tekad dalam diri Gatra untuk melindungi anak itu.

Gatra mengerjap untuk menyudahi pikirannya. Dia tahu topik ini mulai tidak menyenangkan, maka dia putuskan untuk mengubah pembicaraan.

"Malam ini nginep rumahku aja, Nu. Kalau nungguin hujan mah kayaknya besok pagi baru berhenti. Aku juga lagi nggak ada mobil, jadinya nggak bisa nganter kamu pulang."

Janu yang semula begitu tenang menikmati mie-nya, refleks mengangkat wajah dan menatap Gatra. "Aku pakai payung juga nggak papa kok, kak. Takutnya kalau nginep malah ngrepotin."

"Rumah kamu jauh dari sini, Nu. Nggak mungkin aku biarin kamu pulang sendiri hujan-hujan gini."

Sebenarnya Janu juga tidak ingin menolak. Dia senang sekali berada di rumah Gatra. Bukan karena rumahnya yang mewah dan semua serba ada, tapi karena di sana ada Gatra. Janu merasa nyaman ketika lelaki itu ada bersamanya. Rasanya seperti... dia sedang bersama kakaknya.

JanuariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang