Januari #20

5.9K 824 332
                                    

Hampir dua jam, namun ruang itu masih tetap tenang dengan gema detik jarum jam sebagai teman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hampir dua jam, namun ruang itu masih tetap tenang dengan gema detik jarum jam sebagai teman. Gatra, sama sekali tidak bisa melepaskan pandangannya dari sosok Janu yang masih terlelap di brankar. Wajahnya tampak damai, senada dengan deru napasnya yang mengalun teratur, namun di balik itu, Gatra merasakan kecemasan yang begitu besar.

Dokter bilang, adiknya tidak apa-apa. Yang membuat anak itu jatuh pingsan adalah karena demam, maagnya yang kambuh, juga asam lambungnya yang sedikit naik. Tidak cukup parah, namun juga akan menjadi berbahaya seandainya didiamkan terlalu lama. Gatra jelas terkejut saat dokter memaparkan penjelasannya. Dia tidak tahu Janu punya masalah serius dengan lambungnya. Pantas saja anak itu pernah mengeluh sakit beberapa hari yang lalu. Sayang, Gatra tidak cukup peka untuk menyadarinya. Sekarang dia menyesal. Seharusnya dia tahu lebih awal, tidak perlu menunggu sampai anak itu tumbang.

Ternyata benar, sebagai seorang kakak, dia tidak tahu apa-apa tentang adiknya.

Gatra mendecih singkat dan berpaling setelahnya. Kini dadanya terasa panas, tertikam oleh perasaan bersalah yang dia ciptakan sendiri. Dia menghela napas panjang, berusaha mengenyahkan sesak yang membuatnya tak nyaman. Namun, sedetik kemudian dia mengembalikan pandangannya ke atas brankar, tepat saat sosok di sana bergerak pelan.

Gatra tersentak, buru-buru dia bangkit dan memajukan badannya ke brankar sembari menunggu anak itu sempurna membuka mata.

"Jingga, bisa denger suara kakak?" tanya Gatra.

Keduanya sempat beradu pandang sejenak, namun setelahnya Janu justru berpaling begitu saja. Kedua tangan anak itu meremat selimut yang ia kenakan sementara matanya menatap udara hampa di sekitar, terlihat sekali dia sedang menghindar.

Gatra terhenyak. Perasaannya mencelos kecewa. Tapi sedetik kemudian ia mengerti, adiknya pasti lebih kecewa. Gatra sadar betul dimana letak kesalahannya dan kini ia tidak akan menyalahkan Janu jika anak itu mulai merasa tak nyaman di dekatnya.

Gatra terdiam sejenak, sebelum kembali maju dan bertanya pada Janu.

"Kakak panggilin dokter, ya?"

Janu menggeleng sebagai jawaban, namun bibirnya masih tetap bungkam.

"Biar diperiksa dulu. Tadi dokternya pesen kalau kamu udah bangun suruh kasih tau."

Lagi-lagi Janu memberi gelengan, membuat Gatra mendesah pelan. Dia akhirnya menyerah dan membiarkan Janu mendapatkan apa yang ia inginkan. Walau setelahnya Gatra harus merasakan hening yang begitu tak nyaman saat Janu kembali diam. Anak itu bahkan tidak mau menatapnya, padahal Gatra hanya ingin memastikan adiknya telah baik-baik saja.

Gatra menghela napas pelan, kemudian tangannya jerjulur ke depan, hendak mengenggam tangan Janu, namun dengan cepat anak itu menarik tangannya menjauh dari Gatra, membuat pergerakan lelaki itu terhenti begitu saja.

"Aku mau sendiri aja. Kakak boleh keluar."

Gatra sedikit tersentak mendengarnya. Tangannya masih menggantung di udara, beberapa detik, sampai akhirnya jemari itu mengepal lalu turun begitu saja. Pekat iris lelaki itu tampak kecewa, namun dia memilih untuk tidak bersuara. Dia hanya memandangi Janu yang masih bertahan dengan diamnya, mencoba memahami kalimat yang baru saja anak itu gumamkan.

JanuariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang