Januari #15

4.4K 727 92
                                    

Mobil Gatra baru saja berhenti di jalan depan rumah Janu, saat tiba-tiba Gatra teringat ponselnya yang daritadi ia diamkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mobil Gatra baru saja berhenti di jalan depan rumah Janu, saat tiba-tiba Gatra teringat ponselnya yang daritadi ia diamkan. Lelaki itu melirik sekilas Janu yang jatuh tertidur sejak pertengahan jalan tadi, sebelum akhirnya meraih ponsel yang ia simpan di dashboard. Ia tersentak ketika menyalakan ponsel dan mendapati banyak sekali pesan masuk. Dari Dikta.

Seketika mata Gatra membola, dia baru ingat, hari ini dia ada janji dengan anak itu. Kenapa dia bisa lupa? Dengan cepat Gatra membuka satu per satu pesan dan membaca isinya. Hingga ia sampai pada pesan terakhir yang Dikta kirimkan, lalu sesegera mungkin menyimpan kembali ponselnya dan beralih pada Janu yang masih terlelap.

"Nu," panggilnya pelan. Melihat anak itu tidur dengan pulas, sebetulnya Gatra tidak tega membangunkan. Kasihan. Janu pasti kelelahan. Tapi, dia benar-benar harus pergi sekarang. Adiknya menunggunya sendirian.

Panggilan ketiga, Janu akhirnya mengerjap dan terbangun. Dia menatap Gatra bingung, butuh beberapa detik sampai ia bisa mengumpulkan kesadarannya kembali dan berhasil memahami dimana ia berada kini.

"Sory ya, aku bangunin kamu. Kita udah di depan rumah kamu, turun dulu yuk, nanti lanjutin lagi istirahatnya di dalem."

"Eh iya udah nyampe ya? Duh, aku dong kak yang minta maaf malah tidur dan biarin kakak nyetir sendirian."

Gatra tersenyum. Anak itu selalu terlihat begitu polos di matanya. Mengingatkan Gatra pada seseorang. Jingga. Adiknya itu juga sama polosnya dengan Janu. Setidaknya dulu, saat mereka masih bersama. Namun Gatra yakin, sekarang pun adiknya pasti masih tetap sama.

Gatra mengerjap untuk menyudahi pikirannya. Buru-buru dia membantu Janu melepas sabuk pengaman, sembari melanjutkan kembali kalimatnya.

"Tapi maaf, Nu, aku nggak bisa nemenin kamu lama-lama. Aku ada janji sama Dikta tapi aku lupa. Itu anak pasti sekarang lagi ngambek deh."

Mendengar itu, Janu terdiam. Seketika perasaan bersalah menyerangnya. Kalau ia tahu Gatra sudah punya janji dengan Dikta, dari awal Janu pasti akan menolak diantar lelaki itu bagaimanapun caranya. Sekarang, gara-gara mengantarnya pulang, Gatra jadi melupakan janjinya dengan Dikta. Anak itu pasti kecewa sekali. Janu tahu rasanya diberi janji lalu tidak ditepati. Janu pernah merasakannya dulu, saat kakaknya berjanji akan kembali namun nyatanya tidak sampai saat ini. Rasanya sakit. Dan sekarang Janu justru membuat Dikta merasakan rasa sakit yang sama.

Buru-buru Janu menyudahi pikirannya, kemudian beralih memandang Gatra.

"Maaf ya kak, harusnya kakak nggak perlu nganter aku tadi."

"Enggak, Nu. Aku emang udah lupa dari awal, bukan gara-gara nganter kamu pulang. Udah yuk, aku bantu ke dalem."

"Nggak usah, kak. Aku bisa sendiri kok. Kakak langsung balik aja, biar Dikta nggak makin kelamaan nunggunya. Makasih banyak akunya udah dianter pulang."

"Serius nggak apa-apa?"

Kalau boleh egois, Janu ingin sekali menahan Gatra. Dia ingin lelaki itu tetap di sini bersamanya, menemaninya menghabiskan sisa hari yang masih terlalu panjang untuk ia lewati sendirian. Tapi Janu sadar, dia bukan siapa-siapa Gatra. Dia tidak punya hak untuk menahan lelaki itu tetap bersamanya. Lagipula, ada seseorang yang sedang menunggu Gatra pulang. Janu tidak boleh membuat Gatra berada di sini lebih lama dan membiarkan Dikta menunggu sendirian. Karena sekali lagi, Janu tahu betul betapa tidak menyenangkannya menunggu tanpa kepastian.

JanuariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang