15 - Bertengkar?

368 45 39
                                    

"Awalnya aku tidak ingin mengharapkan apa-apa. Namun sekarang aku ingin dianggap berharga."

----------

"Akhirnya kau jawab juga teleponmu. Aku sudah mencoba menghubungimu berkali-kali."

Kata-kata itu menerjang gendang telinga Kevin bahkan sebelum ia sempat mengeluarkan kata. Ia bahkan belum sempat benar-benar menempelkan ponselnya ke telinga. Mengenali suara cempreng Ami di ujung sana, Kevin tertawa dan berkata, "Hoo, aku tahu kau rindu padaku, tapi tolong kecilkan sidikit suaramu. Aku tidak mau orang-orang yang ada di dekatmu berpikir kita pacaran."

Aimi tertawa hambar. "Konyol sekali. Lagi pula tidak ada orang di dekatku," katanya datar.

Aimi berdiri menghadap kaca jendela sekolah itu, menatap siswa-siswi di bawah sana. Pemandangan yang sangat biasa. Pemandangan sehari-hari yang sering dilihatnya. Matanya melirik isi ruang kelas yang kosong. Sungguh membuat hatinya semakin tidak nyaman.

"Kenapa bolos?" Pertanyaan yang sudah diduga Kevin. Kevin tersenyum di ujung sana mendengar suara Aimi yang khawatir. Namun, jika melihat dari riwayat panggilan hanya Aimi yang penasaran akan dirinya. Apakah yang lain tidak peduli?

"Hayo tebak." Kevin memaksa tertawa di ujung sana, membuat Aimi kesal. Sungguh, tidak tepat untuk saling melontarkan candaan.

"Dengar, situasi disini sudah rumit ditambah kau yang menghilang." Aimi berkata serius. Kevin mengernyit, penasaran apa yang terjadi di sekolah tanpa kehadirannya.

"Apa ini soal Zackhir dan Asya?" Tebak Kevin.

"Hmm." Aimi mengangguk meski Kevin tidak tahu ekspresi dari gadis itu. Aimi merasa kesepian, tidak ada lawan bicara. "Zackhir mengacuhkan Asya, ia sering menemui Kak Vannya. Asya pun selalu diam dan mengurung diri di perpus. Kurasa mereka bertengkar. Mereka berdua bahkan melibatkanku, mereka juga mengacuhkanku."

Terdengar hela nafas dari telepon, ia merasa kasihan dengan Aimi. Bagaimana pun juga, ia tidak bisa bertemu mereka hari ini. Sekarang ia juga mengalami kesulitan yang tidak bisa dibicarakan oleh siapa pun. "Maaf, aku tidak bisa membantu. Besok aku akan kembali ke sekolah, kita akan bicarakan sama-sama besok."

"Baiklah, tapi apakah kau baik-baik saja?" Aimi kembali khawatir, cukup aneh Kevin yang anti bolos tiba-tiba bolos. Pasti ada sesuatu yang di sembunyikannya.

"Hmm, aku baik-baik saja."

"Ji-jika ada...m-masalah, katakan saja. Kuharap aku bisa membantu."

"Terima kasih, tapi aku baik-baik saja." Kevin tersenyum, lucu juga mendengar Aimi terbata-bata. "Asya pasti kesepian disana, meski susah mendekatinya, kurasa mendekati Asya terlebih dahulu adalah pilihan yang terbaik."

"Kurasa kau benar, aku akan mencobanya."

Saat itu pintu kelas terbuka dan Aimi berbalik. Matanya mengarah pada gadis bertubuh langsing berdiri di ambang pintu dan tidak sengaja mata mereka bertemu. Gadis itu menunduk, terlihat wajahnya yang sendu. Gadis itu Asya, duduk di kursinya tanpa suara.

"Kita sudahi dulu. Nanti kita bicara lagi," kata Aimi di ponsel. Tanpa menunggu jawaban Kevin ia menutup ponsel, menjejalkan ponsel itu ke saku bajunya, lalu berpaling ke arah Asya.

Aimi mengulum bibirnya, ia bingung apa yang akan dikatakannya jika sudah mendekati Asya. Entah kenapa ia takut, Asya jadi menyeramkan jika seperti ini. Ia menjadi gadis yang dingin dan tidak mau di dekati. Aimi menenangkan debaran jantungnya dan melangkahkan kakinya ke kursi Asya.

"A-Asya...sebenarnya apa yang terjadi?" suaranya pelan, namun Asya dapat mendengar itu. Asya mendongkak dan menatap gadis yang berwajah ketakutan berdiri di dekatnya tanpa kedip. Ia tidak menyangka Aimi yang sering ceria juga merasa kesulitan gara-gara masalah mereka.

ZaczacTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang