4. Senior🔪

5.1K 330 2
                                    

"Kak Lyra gak usah aja deh cariin aku Korban."

Lyra yang sedang menyetir pun langsung menoleh menatap heran adiknya. "Kenapa? Kamu mau berhenti melakukan itu? Kakak dukung apapun keputusan kamu."

"No! Itu mustahil."

Lyra menaikkan sebelah alisnya. "Lalu? Kenapa?"

Anneth tersenyum miring. "Aku udah dapat calon korbannya, dan dengan waktu seminggu, dia akan ada dalam genggamanku!"

"Siapa lagi? Jangan bilang orang itu ada di lingkungan sekolah kamu?! Anneth, semua yang bersekolah disana bukan orang biasa, jika salah satu dari mereka terbunuh karena kamu, keluarganya gak akan menyerah sebelum menyelesaikan kasus ini. Mereka punya banyak uang untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan. Termasuk menemukan pembunuh itu!" Lyra harap, orang yang dimaksud Anneth bukan laki-laki itu.

Anneth tersenyum dan menggeleng. "Dia bukan dari keluarga terhormat. Dia itu hanya murid yang bisa sekolah karena beasiswa."

Lyra melirik wajah bahagia adiknya. "Mau menindas orang rendah, hmm?"

"Bukan menindas, kak. Lebih tepatnya bermain-main hingga ... Game over!"

"Tapi, kamu harus cari tahu dulu siapa dia sebenarnya, biar kakak juga bisa bantu kamu."

Jika memang benar korban Anneth selanjutnya adalah laki-laki itu, ia harus bisa membujuk Anneth agar mengurungkan niatnya dan mencari korban lain.

"Siap bos."

Lyra mencubit kuat pipi Anneth dengan tangan kirinya karena tangan satunya lagi fokus memegang setir. "Adikku ini imut sekali, tapi nyeremin kalau udah kumat."

"Iyalah, Aku kan beda dari yang lain?"
ucap Anneth bangga.

***

Anneth berjalan dengan santai menyusuri tiap-tiap ruangan. Tujuan utamanya adalah ruang kerja Lyra.

Gadis imut itu berdiri didepan pintu ruangan Lyra. Ia menunggu persetujuan dari si pemilik agar pintu kaca itu bisa terbuka, karena yang bisa memasuki ruangan itu dengan bebas hanya Lyra dan Ayahnya.

Saat Anneth sudah masuk kedalam ruangan itu. Tubuh mungilnya langsung ia hempaskan di sofa, tangannya pun sibuk membuka-buka berkas berserakan dimeja yang berada didepannya.

"Anneth, jangan sentuh berkas kakak," tegur lyra, pandangannya tidak teralihkan sedikit pun dari laptopnya.

Anneth menaruh kembali berkas Lyra. "Kak, Daddy kapan pulang? Anneth kangen nih."

Lyra merenggangkan tubuhnya, melemaskan otot-otot yang terasa pegal. "Daddy bilang masih banyak urusan, tapi kalau urusannya sudah selesai. Daddy pasti langsung pulang," jelas Lyra.

Anneth mengangguk paham.
"Kak, ini kan, hari rabu, biasanya Anneth terapi tiap hari rabu. Tapi kenapa tadi kita langsung pulang?" tanya Anneth.

Anneth sudah menjalani terapi selama empat bulan lebih, ia menjalani terapi agar keinginan dalam dirinya yang ingin terus menyakiti atau membunuh orang berkurang dan menghilang.

"Kayaknya Anneth gak usah ikut terapi lagi deh." Lyra sudah tidak ingin adiknya melakukan terapi lagi.

Rasanya percuma, Anneth tetap tidak berubah, perkembangannya pun masih belum terlihat. Jadi ia memutuskan untuk memberhentikan Anneth dari terapi itu.

Sebenarnya dokter yang menangani Anneth adalah teman masa kecil Lyra, tapi sekarang ia sudah tidak terlalu akrab lagi dengan dokter itu, sebab perkataan dokter itu membuat Lyra merasa marah seketika.

Cute but PsycoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang