7. Meninggal 🔪

3.2K 216 21
                                    

Tubuh Pak Damit mulai melemah. Sudah terlalu banyak darah mengucur di sebagian tubuhnya. Meski begitu, Pak Damit ternyata masih cukup kuat untuk bertahan. Matanya masih terbuka walau sayu dengan pandangan buram.

Anneth membasuh tangannya yang penuh darah di kamar mandi Lyra. Setelah itu, ia berniat menelpon kakak tersayangnya. Mungkin akan menarik. Ia pun mulai membuka ponselnya. Tanpa diduga, Lyra lah yang menelepon terlebih dahulu.

Anneth menerimanya dengan hati senang. "Panjang umur," ujar gadis gila itu.

"Siapa yang panjang umur?" tanya Lyra bingung.

"Kakak."

Lyra memutar bola matanya malas. "Sekarang kakak tanya sama kamu, kenapa kamu gak pernah bilang kalau kamu sudah pulang duluan? Kakak itu khawatir kamu kenapa-napa! Seenggaknya kabarin kakak, Anneth!" omel Lyra panjang lebar karena kelakuan Anneth yang tidak pernah mau memberi kabar padanya.

"Aduh kakak, jangan ngomel! Anneth pusing dengernya," jawab gadis itu dengan jengah.

"Anneth kakak serius," ujar Lyra dengan suara tajam.

Tiba-tiba pak Damit berteriak. "Tolong! To-long ... saya," teriak Pak Damith lemah.

Pak Damit hanya bisa berharap orang yang menelpon Anneth mau menolongnya. Apalagi orang itu adalah kakak Anneth, jadi ia tidak perlu bicara panjang lebar untuk memberi tahu di mana ia berada.

Lyra cukup terkejut mendengar suara orang minta tolong dari speaker ponselnya. "Anneth, kamu dimana? Kamu di rumah, kan?" tanya Lyra penasaran.

Anneth mengalihkan panggilannya menjadi panggilan video. "Ya, Anneth sedang di rumah. Lebih tepatnya di kamar kakak," ucap gadis itu sambil tersenyum polos, seperti anak kecil yang tidak memiliki dosa.

Anneth mengubah mode kameranya ke arah pak Damit. Membuat Lyra berteriak melihat keadaan pria itu yang ternyata sudah sekarat. Ditambah lagi, gadis itu melakukan aksinya di kamar Lyra.

"ANNETH!!!"

"Kenapa, Kak?" Tanya Gadis itu pura-pura bingung. "Kakak suka, kan?" Lalu ia tersenyum polos ... lagi.

Lyra mematikan panggilan itu secara sepihak. Dengan cepat ia meraih tasnya dan pergi. Bahkan, ia telah meninggalkan semua pekerjaan yang seharusnya tidak boleh ia tinggalkan.

***

Saat ini Lyra sudah tiba di rumahnya. Setelah sampai, ia langsung mengumpulkan tiga pekerja yang tadi membantu Anneth.

"Dengarkan saya!" ucap Lyra lalu menghela kasar nafasnya. "Kalian sudah sering mengatasi hal seperti ini, kan?! Jadi saya minta kalian bersihkan juga semua bukti yang ada di rumah ini," perintah Lyra.

"Pertama, bungkus mayat itu ke dalam kantong hitam lalu masukkan jasadnya ke dalam mobil. Jika ada yang bertanya, bilang saja kalau itu adalah SAMPAH."

Lyra berusaha sebaik mungkin mengarahkan mereka untuk membersihkan semua tanpa ada jejak sedikit pun.

"Kedua, bersihkan semua darah yang ada di kamar saya lalu bakar barang yang terkena darah. Ketiga, buang mayat itu atau lebih bagus lagi kalian bakar. Yang terakhir hapus rekaman cctv selama satu minggu."

Saat semua sudah mengetahui tugas-tugasnya. Mereka pun kemudian bergegas untuk melakukan perintah Tuannya. Tapi Lyra tiba-tiba menghentikan mereka.

"Tunggu! Aku punya ide yang lebih bagus. Buang mobil dan jasadnya di jurang lalu bakar. Buat seolah-olah itu adalah kecelakaan tunggal," ucap Lyra mengubah sedikit rencana.

Mereka mengangguk mengerti dan kembali melanjutkan langkahnya untuk melakukan tugas masing-masing.

Sedangkan Lyra sendiri berjalan menuju kamar adik imutnya untuk mengeksekusi gadis itu.

Anneth tersenyum manis ketika melihat kakaknya datang. "Ehh, Kakak." Gadis itu tersenyum hingga matanya menyipit.

Lyra melipat kedua tangannya lalu menghela nafas panjang melihat ekspresi santai adiknya. "Anneth tau?! Berkat kamu, kakak punya lebih banyak pekerjaan!"

"Santai saja kak," ujar gadis manis itu sok sungkan.

Lyra sangat geram dengan sikap santai adiknya. Ia meninggalkan Anneth karena takut tidak bisa mengontrol emosi.

"Kakak bakal balik lagi kalo udah mulai tenang," Ucapnya berlalu dari kamar Anneth.

***

Hari ini adalah hari Senin. Di mana setiap sekolah harus melaksanakan upacara bendera.

Anneth sudah berbaris di lapangan bersama teman-temannya. Vanya sedari tadi tidak bisa berdiam diri. Ia terus saja menoleh ke sana ke mari untuk mencari pak Damit karena yang membuat ia semangat mengikuti upacara adalah memandangi wajah tampan guru itu.

"Vanya, bisa diam gak?" pinta Anneth dengan volume suara yang pelan.

"Pak Axel mana ya, Neth? Kok gak ada." Vanya terus saja mencari pak Damit guru idamannya itu.

Anneth menaikan kedua bahunya tidak tau. "Anneth gak tau."

Saat upacara selesai semua peserta upacara merasa heran sebab Sang Kepala Sekolah tidak mengijinkan seluruh murid untuk meninggalkan lapangan. Biasanya jika seperti ini, pasti akan ada informasi tambahan.

"Apaan sih! Kenapa gak ngomong di kelas aja. Panas tau!" Keluh Vanya, ditambah lagi ia kesal karena tidak hadirnya pak Damit hari ini.

"Iya panas. Nanti kulit imut Anneth rusak lagi," sambung Anneth.

"Kulit loh mah pucat kaya mayat hidup. Gak ada imut-imutnya," ejek Vanya.

Anneth ingin menjawab. Namun, suara kepala sekolah menghentikan aksinya. Mereka pun memilih fokus ke depan.

"Saya di sini ingin mengumumkan kabar duka dari salah satu guru yang sangat berjasa bagi kita," kata Kepala Sekolah yang berdiri di depan murid-murid.

Semua guru menundukkan kepala sedih. "Belum lama ini kita memiliki seorang guru yang sangat baik, sabar, dan penyayang. Tapi dengan cepat ia dipanggil oleh Yang Kuasa. Pak Damitri Axelio. Dinyatakan telah meninggal dunia karena mengalami kecelakaan yang tidak terduga. Marilah kita berdoa bersama-sama untuk beliau agar dia tenang di alam sana."

Semua menundukkan kepala dan berdoa untuk Pak Damitri.

***

Vanya menangis histeris di kelas karena guru kesayangan telah tiada.
"Anneth, Pak Axel, hiks."

"Jadi lo beneran suka sama pak Damit?" tanya Anneth.

"Gak juga, sih. Tapi dia itu ganteng banget. Coba yang mati itu pak Hermawan, pasti semua orang jadi senang." Ujar Vanya tanpa berpikir panjang.

"Udah, gak usah nangis. Jelek tau!"
Anneth mengusap punggung Vanya agar dia bisa sedikit lebih tenang.

"Guys! Kayanya kita bakal pulang cepat, deh. Dengar-dengar tadi guru-guru mau ke rumah Pak Axel." Ujar salah satu teman Anneth.

Membuat semuanya histeris karena senang. Pasalnya, jika mereka pulang cepat. Ulangan harian matematika yang sudah disampaikan Minggu lalu pasti akan diundur.

"Udah Vanya jangan nangis lagi. Kita ke kantin aja, semua yang Vanya mau bakal Anneth beliin."

"Serius, Neth?"

Anneth hanya mengangguk lalu tersenyum.

Saat mereka sudah tiba di kantin, Anneth menuruti semua yang diinginkan Vanya. Tapi gadis itu tetap saja masih meneteskan air matanya.

"Anneth, mulut gue senang tapi hati gue sakit." Ujar Vanya.

"Anneth jijik dengar omongan Vanya," ucap Anneth mulai kesal dengan tingkah Vanya.

"Vanya mau apa biar gak nangis lagi?! Atau ... Vanya mau Anneth MATIIN Pak Hermawan?!" Ujar Anneth sambil memperlihatkan senyum iblisnya pada Vanya.

"Demi Vanya, Anneth rela!"

Ayo Votmen
Jangan sider
Dosa

Salam,
Arsetia_

12/11/2019

Cute but PsycoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang