Dua: Who Are You?

11.2K 1.9K 417
                                    

Now Playing: Produce X 101 - Super Special Girl

***

"Ada masa-masa yang tidak bisa diperdebatkan dengan logika. Ada waktu-waktu yang tak bisa dibayar dengan uang. Dan adapula rindu yang tak pernah diketahui penyebabnya."

***

Alwan punya satu rahasia kecil yang hanya diketahui orang-orang tertentu saja. Di sekolah ini, rahasia kecil itu ia percayakan disimpan dengan rapat oleh kedua sahabatnya. Untungnya, sebocor apapun mulut Bagas dan Nindi mereka masih bisa menahan diri untuk tidak membeberkan rahasianya.

Ketika setiap orang larut akan ketidakpastian masa depan mereka, ataupun menyembunyikan dan melupakan masa lalu mereka. Alwan dengan kurang ajarnya melihat hal-hal seperti itu. Alwan bisa melihat masa depan ataupun masa lalu seseorang melalui tatapan langsung mata ke mata.

Tidak ada pemicu pasti bagaimana penglihatan itu muncul, dan kepada siapa saja. Bisa saja ketika Alwan bertatapan dengan si A dia melihatnya, tapi ketika bertatapan dengan si B tidak melihat apapun. Sebuah kemampuan yang bagi Alwan tak tau harus disebut anugrah atau petaka.

Dan dia sedikit merutuk ketika matanya bertatapan dengan anak cheers menyebalkan itu, kemampuannya mendadak muncul. Membuatnya tertarik ke masa lalu gadis itu. Lebih tepatnya ketika perempuan itu masih anak kecil.

Dia tak yakin apa gadis kecil yang sedang duduk di sepeda roda 4 nya itu adalah anak cheers tadi, tapi yang pasti dia terkesiap ketika matanya menangkap hal lain. Di belakang gadis kecil tadi, menyusul seorang anak laki-laki dengan sepeda roda 3 nya. Jangan lupakan seragam TK yang melekat di diri mereka.

Dan anehnya itu adalah dirinya. Sosok Alwan saat kecil.

"Hehehe, Nav naik sepedanya lama!"

Tepat setelah ucapan gadis kecil itu, pemandangan sekitarnya kembali berubah. Membawanya kembali ke masa sekarang, persis di lorong dekat kamar mandi. Di hadapannya masih ada anak cheers yang menabraknya.

"Maaf ya," ucap perempuan itu pelan menarik senyum lebar. Mengganti raut mukanya dengan cepat, tak menunjukkan sedikitpun kalau dia seperti orang sakit tadi. Mengangguk singkat, sebelum berjalan lebih cepat menyusuri koridor.

Alwan dibuat terpaku, jadi memegangi matanya yang entah kenapa terasa berkedut. Setiap kemampuannya muncul tak pernah ada efek untuknya. Namun, kedutan itu bukanlah hal yang membuat Alwan terpaku lama. Melainkan sebuah pertanyaan besar yang jadi bersarang di otak cerdasnya.

Kenapa Alwan ada di masa lalu perempuan yang bahkan tak ia kenal?

***

"Alwan Navindra!"

Mendengar namanya dipanggil cukup kencang, sontak membuat lamunan Alwan buyar. Pemuda jenius yang awalnya asyik melihat keluar jendela, kini mengalihkan atensinya ke depan kelas. Matanya mengerjap baru menyadari kalau dirinya sudah menjadi pusat perhatian sekarang.

"Ambil hasil ulangan kamu," ucap Pak Sasmita melambaikan selembar kertas yang Alwan yakini merupakan kertas ulangan matematika minggu lalu. Alwan mengangguk singkat, bangkit dari duduknya.

"Kamu bisa langsung keluar,"

"Iya pak?" tanya Alwan sedikit melebarkan matanya, terkejut akan ucapan yang dilontarkan Pak Sasmita tepat ketika dia menerima kertas ulangannya. Jangan tanyakan hasilnya, sudah jelas peraih emas OSN Matematika saat kelas 10 ini mendapatkan nilai sempurna.

Melihat wajah kaget, anak murid kesayangannya Pak Sasmita terkekeh pelan. "Kamu ngelamun ya tadi? Hari ini saya mau ngadain remedial, karena kamu gak termasuk makanya saya nyuruh tunggu di luar."

"Ah, maaf pak saya sedikit melamun tadi." Alwan beranjak kembali ke kursinya, berniat untuk mengambil ponsel dan buku catatannya sebelum keluar kelas.

"Aruna,"

Tepat ketika melewati meja Aruna, Pak Sasmita memanggil nama perempuan itu. Membuat Aruna dan Alwan sempat bertatapan sejenak sebelum, Aruna mendengus. Sementara Alwan mengernyitkan dahi, kebingungan akan sifat tak ramah yang ia dapatkan. Lebih tepatnya, selalu ia dapatkan dari gadis itu semenjak mereka satu kelas.

Seolah ada bendera perang tak kasat mata yang dikibarkan perempuan yang menduduki peringkat kedua satu angkatan itu.

"Oke, hanya itu saja yang tidak remedial."

Tepat ketika Alwan meraih ponselnya, Pak Sasmita berujar pelan. Memberi senyum lebar, namun berbanding terbalik dengan seisi kelas yang langsung berseru 'Hah?!' seperti penjual Paguroidea. Ah, kelomang maksudnya.

"Wan, jangan tinggalkan kami." Nindi dan Bagas kompak memegangi sahabat mereka itu. Sudah menunjukkan ekspresi frustasi tingkat tinggi. Padahal ada atau tidaknya pemuda itu tak berpengaruh apa-apa. Karena Alwan paling anti memberi bantuan saat ulangan.

"Makanya belajar, jangan main terus." Alwan mendengus, melepaskan kedua tangan yang menahannya itu. "Dadah, selamat bersenang-senang. Matematika gampang kok..." Ucapan Alwan dibuat menggantung, lantas mendekati kedua temannya itu.

"Kalau lo mau mikirnya."

Langsung saja keduanya mengumpati Alwan.

***

Alwan menaiki tangga satu-persatu, berjalan menuju perpustakaan yang ada di lantai dua. Sesekali ia menguap, menahan rasa kantuk yang menyerangnya begitu saja. Dia membuka pintu perpustakaan, menghela nafas lega mendapati perpustakaan sedang sepi. Hanya ada seorang pemuda yang duduk di sudut lain, entah melakukan apa.

Setelah menulis daftar kedatangan, Alwan beranjak menuju deretan buku-buku ensiklopedia yang tebalnya ampun-ampunan. Entah bagaimana ceritanya, di deretan buku itu juga ada 1 buah buku dorland. Menambah deretan buku-buku tebal di bagian sana, menjadikan tempat itu jarang dikunjungi murid lain. Jangan lupakan fakta bahwa posisi rak-rak itu berada di ujung.

"Huhuhu coklat kenapa kamu enak banget?"

Langkah Alwan terhenti begitu saja, tepat sebelum ia memasuki bagian ensiklopedia suara perempuan yang berbisik penuh takjub mengagetkannya. Ia berjalan pelan, mengintip dari balik rak untuk tau siapa yang ada disana.

Alwan terdiam, mendapati perempuan cheers yang ia temui kemarin sudah terduduk di lantai. Sosok yang sejak kemarin menghilangkan fokusnya. Perempuan yang tak ia ketahui namanya itu, menatap ceria sebungkus beng-beng di tangannya. Tak lupa beberapa bungkus coklat yang ada di sekitarnya.

"Lo ngapain?"

Pertanyaan Alwan sukses membuat perempuan tersebut terkesiap, menoleh dengan cepat dan menatap Alwan horror. Kunyahannya terhenti, bersamaan dengan matanya membulat lucu.

"Nav, jangan bilang mama ya kita makan coklat."

Alwan meneguk ludahnya kasar, sedikit kaget ketika tatapan mereka yang bertemu langsung memunculkan suatu adegan cepat di kepalanya. Dimana ia dan perempuan di depannya bersembunyi di bawah meja sembari memakan coklat, tentunya ketika mereka masih kecil.

"Lo siapa?" ucap Alwan pelan, berjalan mendekat dan duduk di hadapan perempuan itu. Semakin berani menatap ke dalam mata perempuan tersebut yang sedang mengerjap lucu. Kebingungan ketika Alwan sudah mendekatinya mendadak.

"Gue Ochi?" Ochi menjawab pelan, tak melunturkan ekspresi kebingungan yang tercetak jelas di wajahnya. "Heh, kok lo nangis sih?"

Ucapan Ochi yang berbisik, sontak membuat Alwan terkesiap. Ia mengusap pipinya, baru menyadari kalau pipinya sudah basah. Apalagi kalau bukan karena air mata yang tanpa sadar lolos begitu saja dari matanya.

Sebenarnya gadis di depannya ini siapa?

***

a/n: Halo semua, ketemu diriku lagi. Bagaimana Senin kalian? Udah ada yang masuk sekolah kah kalian? Kalau aku sih ya, masih libur hahaha. Jujur aja, pas nulis chapter ini aku benar-benar lagi tahap mandek. Gak tau ini aku kenapa T_T

Kayaknya sih efek dari PDX 101 mungkin ya? Semenjak menjelang final, tiap hari aku gak tenang aja bawaan. Ada yang nonton juga kah?

*p.s: Kalau kamu mau tau kisahku yang lain bisa cek akun wattpad (Athiyah_29 ) atau kalau mau tau kehidupan pribadiku bisa follow akun ig (@aath_onge).

Recallove [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang