Tiga Puluh Enam: Triggered

6.2K 1.2K 437
                                    

Now Playing: Taylor Swift - Love Story

***

"Jangan pernah membuat seseorang yang tenang, terpancing amarahnya."

***

Alwan ingat, bagaimana kedua bola mata Ochi berbeda dari sebelumnya. Mata yang selalu berbinar setiap melihat coklat, menjelma menjadi mata yang nampak teduh. Melalui mata, Ochi selalu bisa menunjukkan bahwa ia baik-baik saja meski faktanya tidak. Dulu, sebelum Alwan mengenalinya, hanya ada rasa tertekan yang diam-diam dipancarkan kedua bola mata Ochi. Namun, malam ini Alwan tak menemukannya.

Tepat setelah acara selesai, murid-murid DHS mulai berpisah jalan kembali ke rumah masing-masing. Alwan mendengus, menatap beberapa pemuda DHS yang masih sempat-sempatnya berebut berfoto dengan setiap anggota Phoenix. Seolah tak sadar bahwa tim cheers yang baru membanggakan sekolah mereka itu, sedang dalam kondisi lelah.

"Apaan sih? Gak sadar itu anak-anak cheers udah capek?" ucap Alwan sinis, sukses membuat Nindi yang anteng melahap es krimnya menatap sahabatnya geli. Pemuda itu, terlihat jelas menahan kekesalan. "Dasar norak."

"Kayak gini mah udah jadi tradisi, kali Wan. Setiap lomba yang butuh supporter, pasti pulangnya lebih lama karena mau foto-foto dulu." Mini yang tak menyadari, aura 'panas' dari Alwan sontak membalas. Ia membuka kantong plastiknya, menyodorkan satu buah es krim. "Nih sambil tungguin, makan es krim aja."

Alih-alih menerima es krim yang diulurkan Mini, Alwan justru berdecak lantas bergerak tiba-tiba mendekati anak-anak cheers. Meninggalkan Nindi yang sudah terkikik kecil, sementara kekasihnya masih tak paham akan situasi. "Lo mah, orang lagi 'panas' malah dikasih es krim. Gak mempan."

Ochi memegangi pipinya yang terasa pegal, lelah juga tersenyum seharian. Pulasan riasan di wajah, sudah ia hapus namun tetap saja anak-anak DHS tak henti meminta berfoto bersama. Memang tak sebanyak anak-anak cheers lain, tetap saja Ochi merasa capek. Ia melirik ke arah Tama yang justru sedang asyik menelpon di dekat plang parkiran, benar-benar tak menyadari kode Ochi untuk segera membawanya pergi.

"Hey, Ochi kan?"

Seorang pemuda tiba-tiba mendekatinya, dengan senyum di wajah. "Gue Fiko, boleh foto bareng kan?" tanyanya yang hanya dibalas angguka singkat Ochi. Fiko nampak menoleh ke belakang, tersenyum lebar kearah teman-temannya. Ia lantas mendekat, terlalu dekat hingga Ochi merasa risih. Belum lagi tangannya yang tiba-tiba merangkul pundak Ochi.

Senyum Ochi kaku, terlihat sekali berusaha melepaskan tangan Fiko dari pundaknya. Sayangnya, pemuda itu tak sadar justru semakin gencar berfoto. Ia tak sadar, helaan napas lega langsung dikeluarkan Ochi ketika rangkulannya terlepas. "Fotonya bagus nih, gue kirim ke lo ya lewat Wa. Nomor lo berapa?"

"Eh, gak usah," tolak Ochi kini menatap ke sekeliling berusaha mencari siapapun untuk bisa menolongnya. "Beneran gak usah."

"Ayolah, berapa nomor lo?"

"Gak-"

"081243xxxxxx"

Ochi buru-buru menoleh, lantas menemukan Alwan yang berdiri tegak di belakangnya. Tatapannya tak ramah, cenderung mengintimidasi. Bodohnya Fiko tetap menuliskan nomor yang disebutkan Alwan, tanpa menyadari aura tak suka yang terang-terangan ditunjukkan Alwan. "Oke, udah gue simpan nomornya Ochi. Thanks, ya Wan."

Tanpa mendengarkan ucapan Alwan lebih lanjut, Fiko bergegas pergi. Sempat-sempatnya mencubit pipi Ochi, yang berhasil membuat mata Alwan melotot dan Ochi membeku di tempat. Cowok kurang ajar,batin Alwan.

"Kayaknya, yang lo sebutin bukan nomor gue deh tadi." Ochi berucap, menaikkan resleting jaketnya semakin ke atas ketika angin malam berhembus secara tiba-tiba.

Recallove [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang